-->

Asuhan Keperawatan Kusta Nanda Nic Noc Terbaru

Kusta, lebih dikenal sebagai Morbus Hansen atau kusta adalah infeksi kulit kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Kusta adalah salah satu penyakit tertua dalam sejarah, yang dikenal sejak 1400 SM. 

Infeksi ini menyerang saraf perifer dan kulit, kemudian saluran pernapasan bagian atas, dan juga dapat menyerang organ lain kecuali otak.

Jumlah penderita kusta di dunia pada 2007 diperkirakan 2-3 juta orang lebih. Pada tahun 2008, penderita kusta di Indonesia diperkirakan 22.359 atau 0,73 dari setiap 100.000 penduduk, dengan total 16.668 kasus baru. Penyakit ini ditemukan terutama di pulau Jawa, Sulawesi, Maluku dan Papua.

TUGAS I
SISTEM INTEGUMEN
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN DENGAN KUSTA”
askep kusta


Disusun Oleh:
Demison Wakur (135200003)
Ira Aryanti (135200008)
Nuryana (135200014)

S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
2019

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul ”Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gangguan Sistem Integumen dengan Kusta” dengan lancar. Shalawat serta salam semoga Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Penyakit Kusta adalah penyakit menular menahun dan disebabkan oleh kuman kusta  (Mycobacterium  leprae)  yang  menyerang  kulit,  saraf  tepi,  dan  jaringan  tubuh lain  kecuali  susunan  saraf  pusat,  untuk  mendiagnosanya  dengan  mencari  kelainan-kelainan  yang    berhubungan  dengan  gangguan  saraf  tepi  dan  kelainan-kelainan  yang tampak pada kulit ( Depkes, 2005 ).  

Dalam penyusunan makalah ini, tentunya kami banyak mengalami hambatan. Hal ini disebabkan karena terbatasnya waktu. Namun berkat bantuan dan kesediaan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya untuk menyusun makalah ini sehingga dapat kami jadikan acuan.

Pada kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih kepada :
1. Ns. Jamiatun, M.Kep. selaku dosen pembimbing Sistem Integumen.
2. Semua pihak yang telah mendukung terselesaikannya makalah ini yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu.
Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi kami dan pembaca pada umumnya.

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
           1.1 Latar Belakang
           1.2 Tujuan Penulisan
           1.3 Rumusan masalah
BAB II TINJAUAN TEORI
           2.1   Definisi
           2.2   Etiologi
           2.3   Patofisiologi
           2.4   Tanda dan Gejala
           2.5    Faktor-faktor penderita kusta
           2.6    Port of entry and exit
           2.7    Pemeriksaan diagnostic / penunjang
           2.8    Komplikasi
           2.9    pencegahan
           2.10  pengobatan / Penatalaksanaan...............................................................
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN KUSTA
           3.1 Pengumpulan Data
           3.2 Diagnosa Keperawatan
           3.3 Perencanaan Keperawatan
BAB IV PENUTUP
           4.1 Kesimpulan
           4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuno, Mesir kuno, dan India pada 1995 organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.

Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan dibelahan dunia, seperti: India, dan Vietnam.

Pengobatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940-an dengan diperkenalkanya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar, hal ini terjadi hingga ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980-an dan penyakit inipun mampu ditangani kembali.

Maka dari itu, penulis membuat makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gangguan Sistem Integumen Dengan Kusta” dimaksudkan agar kita selaku tenaga kesehatan mengetahui apa itu penyakit kusta, penularan, bagaimana pencegahannya dan asuhan keperawatannya.

1.2 Tujuan
A. Tujuan Umum
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas Sistem Integumen berkenaan dengan penyakit Kusta.

B. Tujuan Khusus
  • Menjelaskan gambaran tentang konsep penyakit kusta;
  • Menjelaskan tentang pengkajian keperawatan pada klien dengan kusta;
  • Menjelaskan tentang pembuatan diagnosa berdasarkan pengkajian;
  • Menjelaskan tentang pembuatan rencana keperawatan berdasarkan teori keperawatan

1.3 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembuatan makalah ini antara lain :
1.3.1 Bagaimana gambaran tentang konsep penyakit kusta?
1.3.2 Bagaimana pengkajian keperawatan pada klien dengan kusta?
1.3.3 Bagaimana pembuatan diagnosa berdasarkan pengkajian?
1.3.4 Bagaimana tentang pembuatan rencana keperawatan berdasarkan teori keperawatan?
Asuhan Keperawatan Kusta Nanda Nic Noc Terbaru

BAB II 
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh Micobacterium leprae (M.Leprae). Yang pertama menyerang sistem saraf tepi, kemudian menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan atas, sistem retikulo endotel, mata, otot, tulang dan testis (Amirudin.M.D, 2000).

Kusta adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi, dan jaringan tubuh lain kecuali sistem saraf pusat, untuk mendiagnosisnya dengan mencari kelainan terkait gangguan saraf perifer dan kelainan yang muncul pada kulit (Depkes, 2005).

Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae yang terjadi pada kulit dan saraf perifer. Manifestasi klinis penyakit ini sangat bervariasi dengan spektrum antara dua bentuk klinis, lepromatosa dan tuberkuloid.

Pada penderita kusta tipe lepromatosa menyerang saluran pernapasan bagian atas dan gangguan kulit dalam bentuk nodul, papula, makula dan dalam jumlah banyak. Pada orang dengan kusta, lesi kulit tipe tuberkuloid biasanya tunggal dan jarang, batas lesi kencang, mati rasa. (Jurnal Universitas Sumatera Utara, 2012).

Kusta (kusta atau Hansen morbus) adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae. (Kapita Selekta, 2000)

2.2 Etiologi
Mycrobacterium leprae adalah bacillus tahan asam (BTA), yang merupakan kewajiban intraseluler yang menyerang saraf perifer, kulit, dan organ lain seperti mukosa saluran napas bagian atas, hati, dan sumsum tulang kecuali sistem saraf pusat. 

Periode pemisahan mikobakteri leprae adalah 12-21 hari dan periode pemotretan adalah 40 hari - 40 tahun. Mycrobacterium leprae atau hansen adalah kuman yang menyebabkan kusta ditemukan oleh seorang sarjana Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873. 

Kuman-kuman ini tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron. Biasanya ada kelompok dan ada pula yang menyebar satu per satu, hidup dalam sel, terutama jaringan dingin dan tidak bisa dikultur dalam media buatan.

ENL adalah basil humoral di mana basil lepra utuh atau tidak lengkap menjadi antigen sehingga tubuh membentuk antibodi, kemudian membentuk kompleks imun yang menetap di sistem vaskular. Reaksi tipe-2 yang khas pada kulit ditandai dengan nodul eritematosa mendadak yang nyeri, lesi bisa dangkal atau lebih dalam.

Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi kusta meliputi: setelah perawatan anticepsy intensif, infeksi berulang, operasi, dan stres fisik.

2.3 Patofisiologi
Meskipun cara memasukkan mycrobacterium leprae ke dalam tubuh tidak diketahui. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularan paling sering melalui lepuh, pada bagian tubuh yang dingin dan melalui mukosa hidung. Setelah mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan kusta tergantung pada kerentanan seseorang.

Respon tubuh setelah periode pemotretan terlampaui tergantung pada derajat sistem imun seluler yang dimediasi pasien. Jika sistem kekebalan seluler tinggi, itu berarti bahwa penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan jika rendah, itu berarti berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae didasarkan pada daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah acral dengan sedikit vaskularisasi.

Mycrobacterium leprae terutama ditemukan dalam sel makrofag di sekitar pembuluh darah superior di dermis atau sel Schwann dari jaringan saraf, ketika kuman memasuki tubuh, tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag ke fagosit.

1. Tipe LL (Lepromatosa): Kelumpuhan sistem imun seluler rendah terjadi di mana makrofag tidak dapat menghancurkan kuman, dan dapat membelah dan secara bebas merusak jaringan.

2. Tipe TT (Tuberkuloid): Fase tinggi sistem kekebalan seluler di mana makrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah fagositosis, ada sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu untuk membentuk sel, jika tidak segera diatasi ada reaksi berlebihan dan periode epitel menyebabkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.

Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitifitas seluler secara tiba-tiba, sehingga respons terhadap antigen mikrobakterium lepra yang mati dapat meningkat. Situasi ini ditunjukkan oleh peningkatan transformasi limfosit. Tetapi sampai sekarang belum diketahui secara pasti antigen M. leprae yang mendasari kejadian patologis tersebut dapat terjadi.

Faktor penentu antigen tertentu yang mendasari reaksi kusta pada setiap pasien mungkin berbeda. Jadi gambaran klinis bisa berbeda walaupun jenis kusta sebelum reaksi yang sama. Penentu antigen ditemukan di kulit dan jaringan saraf.

Tingkat penyakit tidak selalu sebanding dengan tingkat infeksi karena respon imun pada setiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih proporsional dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Karena itu kusta dapat disebut penyakit imunologis.

2.4 Tanda dan Gejala
Tanda-tanda gejala pada kusta, yaitu:

1. Reaksi tipe I (reaksi pembalikan, reaksi peningkatan, reaksi boederline).
Terjadi pada pasien tipe garis batas karena imunitas seluler meningkat dengan cepat. Dalam reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta menuju PB (paucibacillary).
Faktor pencetus tidak diketahui secara pasti tetapi diduga ada hubungannya dengan reaksi hipersensitif tipe lambat. Gejala klinis dari reaksi tipe I meliputi perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan / atau gangguan kondisi umum pasien.

2. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).
Reaksi ini terjadi pada pasien MB (multibasiler) dan merupakan reaksi humoral, di mana basil lepra kusta utuh atau tidak lengkap menjadi antigen. Tubuh akan membentuk antibodi dan komplemen sebagai respons terhadap antigen. Reaksi kompleks imun terjadi antara antigen, antibodi, dan komplemen.

Kompleks imun ini dapat menetap, antara lain, dalam bentuk nodul yang dikenal sebagai erythema nodosum leprosum (ENL), mata (iridosyclitis), sendi (radang sendi), dan saraf (neuritis) dengan gejala konstitusional seperti demam dan malaise, dan komplikasi dalam organ yang lain.

Hal-hal yang memfasilitasi reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, operasi, setelah diimunisasi) dan stres mental. Jalannya reaksi bisa memakan waktu hingga 3 minggu. Terkadang muncul berulang kali dan berlangsung lama.

2.5 Faktor-faktor pada penderita kusta 
a. faktor agent 
Kuman  penyebabnya  adalah  Mycobacterium  Leprae  yang  ditemukan  oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang  panjang,  sisi  paralel  dengan  kedua  ujung  bulat,  ukuran 0,3-0,5  x  1-8  mikron. 

Basil  ini  berbentuk  batang  gram  positif,  tidak  bergerak  dan  tidak  berspora,  dapat tersebar  atau  dalam  berbagai  ukuran  bentuk  kelompok,  termasuk  massa  ireguler  besar yang disebut sebagai globi ( Depkes, 2007). 

Kuman  ini  hidup  intraseluler  dan  mempunyai  afinitas  yang  besar  pada  sel saraf  (Schwan  Cell)dan  sel  dari  Retikulo  Endotelial,  waktu  pembelahan  sangat  lama, yaitu  2-3  minggu,  diluar  tubuh  manusia  (dalam  kondisis  tropis) kuman  kusta dari sekret  nasal  dapat  bertahan    sampai  9  hari  (Desikan  1977, dalam  Leprosy Medicine  in the  Tropics  Edited  by  Robert  C.  Hasting,  1985).  Pertumbuhan  optimal    kuman  kusta adalah pada suhu 27º30º C ( Depkes, 2005). 

M. leprae  dapat  bertahan  hidup  7-9  hari,  sedangkan  pada  temperatur  kamar dibuktikan dapat bertahan hidup 46 hari, ada lima sifat khas : 
  • M.Leprae merupakan parasit intra seluler obligat yang tidak dapat dibiakkan dimedia buatan;
  • Sifat tahan asam M. Leprae dapat diektraksi oleh piridin.
  • M.leprae merupakan satu- satunya mikobakterium yang   mengoksidasi  D-Dopa (D- Dihydroxyphenylalanin).
  • M.leprae adalah satu-satunya spesies micobakterium yang menginvasi dan  bertumbuh dalam saraf perifer.
  • Ekstrak terlarut dan preparat M.leprae mengandung komponen antigenik yang Stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita tuberculoid dan negatif pada penderita lepromatous (Marwali Harahap, 2000). 

b. faktor host 
Usia : Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti

c. faktor environment
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat. Buruknya kondisi kesehatan lingkungan yang banyak ditemui pada warga miskin, diduga menjadi sarang yang nyaman untuk berkembangnya kuman kusta

2.6 PELABUHAN MASUK DAN KELUAR
Cara penularan kusta masih menjadi tanda tanya. Yang diketahui hanyalah keluarnya kuman kusta dari tubuh penderitanya, yaitu selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan kusta adalah:
  1. Melalui sekresi hidung, basiler yang berasal dari sekresi hidung pasien yang sudah kering, di luar masih bisa hidup 2-7 x 24 jam.
  2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya adalah mereka harus berusia di bawah 15 tahun, baik lesi mikroskopis dan makroskopik harus ada, dan bahwa ada kontak yang lama dan berulang.
Secara klinis ternyata kontak berkepanjangan dan berulang bukanlah faktor penting. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan tentang penularan ini sesuai dengan hukum penularan serta penyakit yang terinfeksi lainnya.

Menurut Cocrane (1959), terlalu sedikit orang yang terkena kusta melalui kontak kulit dengan kasus kusta terbuka.

Menurut Ress (1975), dapat disimpulkan bahwa penularan dan perkembangan kusta hanya tergantung pada dua hal, yaitu jumlah atau keganasan Mycrobacterium Leprae dan daya tahan tubuh pasien.

Beberapa asumsi menyatakan bahwa kusta dapat ditularkan melalui udara. Biasanya terjadi di udara yang mengandung bakteri leprae, yang dihirup manusia.

2.7 PEMERIKSAAN / DUKUNGAN DIAGNOSTIK
Deteksi dini reaksi kusta sangat penting untuk menekan tingkat kecacatan yang tidak dapat diperbaiki yang dapat terjadi sebagai gejala residual. Tingkat keberhasilan terapi tampaknya lebih baik jika kusta terdeteksi dan diobati sejak dini.
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan:

Deskripsi klinis
Gejala klinis meliputi:
a. Lesi kulit menjadi lebih merah dan bengkak.
b. Nyeri, dan saraf perifer membesar.
c. Tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik dan motorik.
d. Demam dan malaise.
e. Kedua tangan dan kaki membengkak.
f. Munculnya lesi baru di kulit.

Investigasi yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah sebagai berikut:
1). Laboratorium
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:

2). Pemeriksaan histopatologis
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran dalam bentuk: Infiltrat limfosit yang meningkat mengakibatkan edema dan hiperemia. Diferensiasi makrofag menuju peningkatan sel epiteloid dan sel raksasa memberikan gambaran sel langerhans. 

Terkadang ada gambaran nekrosis (kematian jaringan) di granulosum. Dimana kesembuhannya ditandai dengan fibrosis.

2.8 KOMPLIKASI
Cacat adalah komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta karena kerusakan fungsi saraf tepi atau karena neuritis selama reaksi kusta.

Reaksi kusta atau reaksi kusta adalah episode akut dalam perjalanan kronis kusta yang merupakan reaksi imun (respon seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon humoral) dengan konsekuensi yang merugikan bagi pasien.

Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum menerima perawatan, selama perawatan dan setelah perawatan. Namun, sering terjadi pada 6 bulan hingga satu tahun setelah memulai perawatan.

2.9 PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan:

a. Pendidikan kesehatan
Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena kusta dan memiliki risiko tertular karena mereka ada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan pendidikan tentang kusta.

Konseling yang diberikan oleh petugas kesehatan tentang kusta adalah proses meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan orang yang belum menderita sakit sehingga mereka dapat mempertahankan, meningkatkan, dan melindungi kesehatan mereka dari kusta. 

Sasaran konseling kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Kementerian Kesehatan, Republik Indonesia, 2006).

b. Pemberian imunisasi
Sampai sekarang belum ditemukan upaya pencegahan primer untuk kusta seperti imunisasi (Saisohar, 1994). Dari hasil penelitian di Malawi pada tahun 1996 ditemukan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%.

Walaupun memberi dua kali dapat memberikan perlindungan bagi kusta sebanyak 80%, namun, temuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian di beberapa negara memberikan hasil vaksinasi BCG yang berbeda (Depkes RI, 2006).

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan:
a. Pengobatan kusta
Perawatan penderita kusta untuk memutus mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit pasien, mencegah timbulnya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum perawatan.

Pemberian terapi multi obat pada penderita kusta, terutama pada jenis Multibaciler karena jenis itu merupakan sumber kuman infeksi kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

3. Pencegahan tersier
Sebuah. Pencegahan cacat kusta
Pencegahan tersier dilakukan untuk mencegah cacat kusta pada pasien. Upaya pencegahan kecacatan terdiri dari (Depkes, 2006):
Upaya untuk mencegah kecacatan primer meliputi penemuan dini pasien sebelum kecacatan, perawatan teratur dan perawatan reaksi untuk mencegah kerusakan pada fungsi saraf.

Upaya untuk mencegah kecacatan sekunder termasuk perawatan diri untuk mencegah cedera dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang telah mengalami disfungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta
Rehabilitasi adalah proses pemulihan untuk mendapatkan fungsi penyesuaian maksimum dalam upaya untuk mempersiapkan orang-orang cacat fisik, mental, sosial dan fisik untuk kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan mereka.

Tujuan rehabilitasi adalah agar para penyandang cacat dikondisikan secara umum untuk memperoleh kesetaraan, peluang dan integrasi sosial dalam masyarakat yang pada akhirnya memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).

Rehabilitasi orang yang terkena kusta meliputi:
  • Latihan fisioterapi untuk otot yang lumpuh untuk mencegah kontraktur.
  • Operasi rekonstruksi untuk koreksi otot yang lumpuh agar tidak mendapat tekanan berlebihan.
  • Operasi plastik untuk mengurangi tingkat infeksi.
  • Terapi okupasi (aktivitas hidup sehari-hari) dilakukan ketika gerakan normal terbatas pada tangan.
  • Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penyandang disabilitas.

2.10 PENGOBATAN / PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. 

Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. 

B. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
a). Tipe PB ( Pause Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah. Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment) 

meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

b). Tipe MB ( Multi Basiler)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas. Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah. 
DDS 100 mg/hari diminum dirumah, Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.

c). Dosis untuk anak
Klofazimin: Umur, dibawah 10 tahun: /blnHarian 50mg/2kali/minggu, Umur 11-14 tahun, Bulanan 100mg/bln, Harian 50mg/3kali/minggu, DDS:1-2mg /Kg BB, Rifampisin:10-15mg/Kg BB.

d). Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam.

e). Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

BAB III 
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman micobakterium leprae. Kuman  penyebabnya  adalah  Mycobacterium  Leprae  yang  ditemukan  oleh G.A.Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, secara morfologik berbentuk pleomorf lurus batang  panjang,  sisi  paralel  dengan  kedua  ujung  bulat,  ukuran 0,3-0,5  x  1-8  mikron.  

Micobakterium leprae masuk kedalam tubuh manusia, jika orang tersebut memiliki respon imunitas yang tinggi maka kusta akan lebih mengarah pada tuberkuloid, namun jika respon imunitas dari tubuh orang tersebut rendah maka kusta akan lebih mengarah pada lepromatosa. Penularan penyakit kusta sampai saat ini hanya diketahui melalui pintu keluar kuman kusta yaitu: melalui sekret hidung dan kontak langsung dengan kulit penderita. 

Selain itu ada faktor-faktor lain yang berperan dalam penularan ini diantaranya: usia, jenis kelamin, ras, kesadaran sosial dan lingkungan. Untuk pencegahan penyakit kusta terbagi dalam 3 tahapan yaitu : 
pencegahan secara primer, sekunder dan tersier.Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien kusta yang perlu dilakukan adalah melakukan pengkajian, pemeriksaan fisik, menentukan diagnosa keperawatan, kemudian memberikan tindakan perawatan yang komprehensip.

3.2 Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan sebagai  penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.

Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta untuk mempermudah pengobatanya.

Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif.

0 Response to "Asuhan Keperawatan Kusta Nanda Nic Noc Terbaru"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel