-->

Modul Asuhan Keperawatan Jiwa Kemenkes RI, NANDA NIC NOC

KATA PENGANTAR 

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT serta Shalawat beriring salam ke pangkuan alam Nabi Muhammad SAW, sehingga modul “Keperawatan Jiwa” ini telah disusun oleh tim.  Modul ini berisi sasaran belajar agar mahasiswa mampu memahami konsep komunikasi umum.

Modul ini bertujuan agar bisa memberikan pedoman bagi mahasiswa dan tutor untuk melaksanakan pembelajaran dengan sistem Student Centered Learning(SCL) pada kuruikulum berbasis kompetensi (KBK).  Modul ini diharapkan dapat mendukung proses belajar mengajar dengan metode pembelajaran yang berorientasi pada mahasiswa sehingga dapat memfasilitasi dalam mencapai kompetensi yang diharapkan. 

Penyusunan modul ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada : 
  1. Ketua STIKes
  2. Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan  
  3. Semua staf dosen yang telah banyak memberikan masukan 
  4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan modul Kami berharap semoga modul ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa, tutor, dosen serta para pembaca.  
Kami menyadari dalam penyusunan modul ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan.
           

DAFTAR ISI 

Halaman Judul .........................................................................................  i 
Kata pengantar ........................................................................................  ii 
Daftar Isi..................................................................................................  iii 
BAB I    : Informasi Umum ....................................................................  1 
BAB II   : Rangcangan Pembelajaran ..................................................... 10 
BAB  III : Konsep Keperawatan Jiwa ..................................................... 14 
DAFTAR PUSTAKA 
LAMPIRAN 


BAB I INFORMASI UMUM 

A. Nama Blok     : Keperawatan Jiwa 
B. Beban SKS    : 2 SKS (Teori) 
C. Tujuan Modul Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami, menganalisis tentang proses terjadinya gangguan jiwa dalam perspektif keperawatan jiwa, konsep stres koping dan rentang sehat sakit jiwa, asuhan keperawatan klien dengan gangguan jiwa, sejarah keperawatan jiwa dan trend issue dalam keperawatan jiwa global, konseptual model keperawatan jiwa, pelayanan keperawatan jiwa pada situasi bencana, peran perawat jiwa, pelayanan dan kolaborasi interdisiplin dalam kesehatan dan keperawatan jiwa, proses keperawatan jiwa, legal dan etik, sosiokultural dalam konteks keperawatan jiwa, askep klien dengan kecemasan dan kehilangan, askep klien dengan  ketidakberdayaan dan keputusasaan, askep dengan distres spiritual. 

D. Metode Pembelajaran Pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Base Learning (PBL) dengan menggunakan metode Seven Jump, ISS, Discovery Learning, Field Study, tugas individu dan tugas kelompok. 

E. Kegiatan Mahasiswa Pada awal pembelajaran modul ini, mahasiswa akan diberikan kuliah pengantar secara menyeluruh oleh koordinator blok yang bertujuan memberikan gambaran secara komprehensif pada mahasiswa mengenai modul yang akan dipelajari, kompetensi, tujuan pembelajaran serta metode pembelajaran yang akan digunakan. Selanjutnya, mahasiswa mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan metode pembelajaran yang telah direncanakan pada modul. 

F. The Seven Jump in PBL

1. Diskusi Tutorial
Tujuan dari diskusi adalah untuk meningkatkan pemahaman para anggotanya terhadap pertanyaan tertentu atau problem tertentu dan untuk memformulasi sebuah pendapat tentang hal tersebut.  Selain diskusi harus menyenangkan dan memotivasi kelompok untuk mencapai sebuah kesepakatan.  Untuk itu diperlukan keterampiran khusus yang disebut group management skill atau keterampilan mengelola kelompok.
a) Intruksi Pra Diskusi Berikut merupakan langkah yang amat penting dalam memulai sebuah diskusi :
Ketahui siapa anggota kelompok diskusi.
1) Siapa saja nama-nama anggota kelompok ? dari mana asal ?
2) Apakah tiap anggota kelompok sudah saling mengenal ? jika belum harus saling berkenalan

Kesepakatan prosedur diskusi 
1) Buat kesepakatan /kontrak waktu berapa lama diskusi akan dilakukan (180 menit)
2) Ada 4 peran yang dilakukan dalam sebuah diskusi, yaitu ketua kelompok diskusi (leader), penulis (sekretaris/scriber), pembuat rangkuman (co-scriber) dan pengamat (observasi).  Semua posisi ini hendaknya digilir sehingga tiap-tiap anggota kelompok berkesempatan menjadi leader.
3) Menyepakati perilaku setiap anggota diskusi :

  • Berkonsentrasi terhadap jalannya diskusi 
  • Tidak boleh mendominasi diskusi 
  • Melakukan proses mendengarkan secara aktif 
  • Selalu mendahulukan feedback positif (pujian) dari pada saran 
  • Tidak diperkenankan memberi kritik yang menjatuhkan 

b Protokol diskusi 
1) Instruktur/tutor dan peserta saling memperkenalkan diri secara singkat 
2) Tutor memberi pengarahan sedikit tentang the 7 jump 
3) Membuat kesepakatan bersama misalnya bahwa setiap orang akan berusaha aktif dan berkontribusi pada jalannya diskusi (termasuk sekretaris/scriber) dan pembuat rangkuman (co-scriber), tidak mendominasi dan tidak pula terlalu pasif, leader harus memberi kesempatan pada tiap anggota kelompok, tidak diperkenankan membaca buku/bahan lainnya dalam diskusi, tetapi harus menyampaikan intisari yang dipahami, tidak dipekenankan makanminum selama proses diskusi, serta mematikan/mensilentkan telepon genggam (hp) dll.

4) Kelompok memilih leader 
5) Leader membuka diskusi, lalu meminta salah seorang lainnya untuk menjadi sekretaris/Scriber di white board (papan tulis) atau flip chart dan seorang lagi membuat rangkuman (co-scriber) 
6) Leader mengarahkan anggota diskusi untuk membaca atau melihat skenario masalah (kasus) dengan memilih salah satu cara : membaca dalam hati, meminta salah seorang anggota kelompok membaca dengan keras, memperagakan skenario dengan teman lain  
7) Leader mengajak kelompok untuk memperagakan the 7 jump mulai dari langkah 1 sampai dengan 5 selesai 
8) 10 menit sebelum waktu diskusi selesai, tutor menghentikan diskusi, memimpin fase refleksi, dimana tutor menyatakan pendapatnya tentang jalannya diskusi hari ini (mencapai learning objective)apa belum. 
9) Tutor meminta leader dan scriber untuk memberikan pendapat tentang apa yang telah ia lakukan dengan baik sebagai pimpinan diskusi atau apa yang perlu ia lakukan lebih baik lagi. 
10) Tutor kemudian meminta anggota kelompok yang lain (observer) memberikan pendapat tentang apa yang telah dilakukan leader dan scriber yang baik dan apa yang perlu lebih baik lagi.
11) Tutor memberi tanggapan dan saran untuk setiap peran yang dimainkan
12) Gilirkan untuk setiap peran kepada anggota kelompok lainnya, sehingga setiap peran kepada anggota kelompok lainnya, sehingga setiap anggota kelompok mempunyai kesempatan untuk menjadi leader, scriber, dan co scriber. 

2. Peran-peran dalam diskusi tutorial 
a. Peran Tutor 
1) Melakukan pembukaan dan memberikan gambaran umum tentang fungsi diskusi tutorial dan tugas-tugas leader, scriber dan co-scriber 
2) Memberikan bimbingan langsung 
3) Menengahi perbedaan pendapat tentang prosedur (the 7 jump) dalam diskusi dan menerangkan tujuan tentang masing-masing prosedur
4) Mengatur/menunjuk leader, scriber, co-scriber dan anggota 
5) Menjaga suasana diskusi agar tetap dinamis dan menyenangkan 

b Peran Pemimpin Diskusi/leader 
1) Duduk disisi terbaik dimana ia dapat melihat anggota kelompok diskusi dan papan tulis 
2) Membuka diskusi 
3) Menjaga kontak mata dan mampu menghangatkan suasana 
4) Mengatur jalannya diskusi sesuai dengan 7 jump 
5) Mengatur giliran mengemukakan pendapat 
6) Berusaha mengajak teman yang belum mengemukakan pendapat untuk berbicara 
7) Ikut memberikan pendapatya sendiri dalam diskusi dan mengajak sekretaris (scriber) serta pembuat rangkuman (co-scriber) untuk memberi pendapatnya juga 
8) Mengendalikan teman yang terlalu banyak bicara 
9) Menengahi perbedaan pendapat tentang topik diskusi 
10) Tidak mendominasi diskusi dengan pendapatnya sendiri 
11) Selalu menanyakan kesepakan pendapat tentang apa yang ditulis di whiter board 
12) Menyederhanakan pernyataan dengan kalimat yang lebih mudah dipahami 
13) Membantu scriber untuk membuat pernyataan tertulis di papan tulis 

c Peran Penulis (Scriber) 
1) Menulis pendapat bersama yang telah disepakati di papan tulis/flipchart serta ikut serta memberi pendapat dalam diskusi 
2) Tidak menulis apa yang tidak disepakati dalam diskusi 

d Peran pembuat rangkuman (Co-scriber)  
1) Membantu membuat rangkuman di executive summary 
2) Ikut memberikan pendapat di dalam diskusi 

e Peran Observer 
1) Observer adalah tiap mahasiswa lain yang menjadi anggota kelompok diskusi.  Perannya adalah memberi kontribusi dalam diskusi dan memberi penilaian positif serta memotivasi leader dan scriber 2) Memberi saran (bukan yang negatif) bagi semua peran 





G. Kegiatan Tutor 
1. Tutor diharapkan membaca, memahami dan menganalisa isi modul 
2. Tutor diharapkan memahami sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan dengan baik pada setiap kasus pemicu dengan berbagai metode pembelajaran. 
3. Tutor diharapkan dapat memotivasi dan memfasilitasi mahasiswa agar aktif dalam proses pembelajaran. 
4. Tutor diharapkan mengarahkan mahasiswa untuk berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah keperawatan sesuai dengan tahapan proses keperawatan dari kasus pemicu yang diberikan. 
5. Tutor diharapkan mengarahkan mahasiswa untuk menjaga ketertiban, inventaris ruang belajar dan laboratorium. 
6. Tutor diharapkan mengisi seluruh format evaluasi yang disiapkan untuk proses penilaian pelaksanaan modul.  
7. Apabila mengalami kesulitan dalam memami isi modul ini, silahkan menghubungi tim penyusun modul. 

PANDUAN SEVEN JUMPS 


No Langkah Tujuan Aktivitas mahasiswa

1 Identifikasi istilah konsep 
Untuk mencegah kebingungan atau kesalahpahaman, setiap istilah dan konsep yang  didapat dari skenario harus dijelaskan. Langkah ini membuat diskusi dapat dimulai dari satu titik yang sama 

a. Menemukan istilah dan konsep yang kurang jelas/asing
b. Menemukan istilah dan konsep yang membingungkan
c. Bertanya kepada sesama teman
d. Saling  menjelaskan sesuai dengan pengalaman/bacaan yang pernah ditemui 

2 Identifikasi Masalah 
Membatasi topik yang akan dibahas 
a. Membuat daftar masalahmasalah yang dianggap menjadi inti permasalahan 
b. Mendiskusikan masalah mana yang menjadi inti dan masalah penunjang 3 Analisa Masalah Brainstorming/curah pendapat dengan menggali masalah dan berusaha menjelaskan konsep dengan menggunakan pengetahuan yang dikuasai sebelumnya (walaupun konsep dan penjelasannya masih salah, tutor belum perlu segera berkomentar)
a. Berusaha menggali beberapa hal yang tertarik dengan skenario, tidak hanya mencoba mencari satu diagnosa atau satu penatalaksanaan  yang paling tepat (mengenali perbedaan antara problem based learning dan problem solving) 
b. Membuat daftar berbagai aspek yang ingin dijelaskan 
c. Memberi penjelasan tambahan terhadap daftar aspek-aspek tadi 
d. Saling bertanya tentang penjelasan teman agar lebih rinci 
e. Saling bertanya tentang hal-hal yang kurang jelas/tidak relevan 
f. Menghindari penghapusan pendapat yang dianggap “salah” 
g. Membuat daftar berbagai penjelasan  alternatif  yang mungkin menjadi  penjelasan yang tepat 4 Stukturisasi Mengelompokkan penjelasan –penjelasan di langkah 3 dan menemukan hubungan-hubungan antara penjelasan yang satu dengan yang lainnya lalu membentuk pola/ skema yang sistematis dan terangkai  secara 
a. Membuat hubungan antara aspek-aspek yang saling terkait dan menjelaskan jenis hubungannya 
b. Menggunakan diagram, tabel atau grafik  
c. Menemukan ketidakjelasan dan ketidakketerkaitan dalam pengelompokkan masalah  logis agar lebih mudah dipahami  

5 Identifikasi tujuan belajar 
Merumuskan hal-hal yang belum jelas dan perlu dipelajari lebih lanjut secara mandiri 
a. Membuat daftar hal-hal yang belum jelas dan perlu dipelajari lebih lanjut,termasuk istilah dan konsep yang belum jelas
b. Menjaga hubungan antara daftar tujuan belajar dengan masalah inti dalam skenario  


Masa belajar mandiri  
Mahasiswa mampu memecahkan masalah secara mandiri, memilih sumber belajar dan melatih belajar dan melatih belajar sepanjang hayat  
a. Memanage waktu antara belajar dan bersantai, menggunakan waktu seefektif mungkin
b. Menggunakan berbegai cara dengan mengumpulkan informasi : perpustakaan, diskusi kelompok kecil, kuliah, internet,konsultasi pakar,dll
c. Memilih sumber-sumber pengetahuan yang tepat dan meyingkirkan sumbersumber pengetahuan yang tepat dan menyingkirkan sumber-sumber yang kurang tepat
d. Membuat catatan dari hasil belajar mandiri dan mempersiapkan hal-hal yang akan dilaporkan pada langkah ke 7

7 Presentasi hasil belajar mandiri 
Mampu membuat hubungan antara berbagai temuan sehingga dapat menjawab keraguan dan pertanyaan yang muncul dalam dikusi maupun pertanyaan dari diri nya sendiri 
a. Melaporkan hasil belajar mandiri / temuan informasi terkait dengan tujuan belajar yang dirumuskan bersama dilangkah ke 5
b. Menjelaskan dengan menggunakan tabel diagram dan contoh
c. Menyebutkan sumber/ referensi yang mendukung presentasi nya.
d. Saling bertanya tentang penjelasan temannya yang kurang jelas bagi masingmasing individu 

8 sintesis
Mampu merumuskan pengetahuan” baru” yang telah diperoleh sehinggan mudah diingat, diapahami dan diaplikasikan pada situasi yang berbeda disaat menjadi seorang ners nanti nya  
a. Menilai apakah seluruh tujuan belajar sudah terpenuhi
b. Merumuskan kesimpulan sebagai pengetahuan baru dalam kalimat-kalimat yang ringkas dan jelas  c. Menguji apakah pengetahuan baru yang didapat dapat berlaku juga pada kondisi serupa tapi berbeda dari skenario 


BAB II RANCANGAN PEMBELAJARAN 

A. PROFESIONAL PROFIL Setelah mengikuti proses pembelajaran pada tahap akademik, mahasiswa mampu memahami dan mengaplikasi konsep Pendidikan Kesehatan. 

B. JADWAL PERKULIAHAN 
Kelas Pagi No Hari/Tanggal Jam PT Metode 
  • Senin,  14 Januari 2019 09.00-09.10  Kuliah perkenalan 09.10-10.50 1 Seven Jump (Step 1-5) kasus I 
  • Selasa, 15 Januari 2019 09.00-10.50 1 Seven Jump (Step 6) Belajar mandiri dan konsultasi kasus I 
  • Rabu, 16 Januari 2019 09.00-12.20 2 Seven Jump (Step 7) Presentasi kasus I  
  • Kamis, 17 Januari 2019   Pembagian TIK ISS 
  • Jum’at, 18 Januari 2019 09.00-10.50  Belajar mandiri dan konsultasi
  • Sabtu, 19 Januari 2019 09.00-12.20  Presentasi 
  • Senin, 20 Januari 2019 09.00-12.20 2 Collaborative Learning 
  • Selasa, 21 Januari 2019 09.00-12.20 2 Role Play & Simulation 
  • Rabu, 22 Januari 2019 09.00-12.20 2 Pleno Akbar 
  • Kamis, 23 Januari 2019 09.00-10.50 1 Kuliah Pakar 
  • Sabtu, 26 Januari 2019 09.00-12.20 2 Ujian Tulis dan responsi 

Kelas Sore No Hari/Tanggal Jam PT Metode 
  1. Senin,  14 Januari 2019 14.00-14.10  Kuliah perkenalan 14.10-15.50 1 Seven Jump (Step 1-5) kasus I 
  2. Selasa, 15 Januari 2019 14.00-15.50 1 Seven Jump (Step 6) Belajar mandiri dan konsultasi kasus I  
  3. Rabu, 16 Januari 2019 14.00-17.20 2 Seven Jump (Step 7) Presentasi kasus I  
  4. Kamis, 17 Januari 2019   Pembagian TIK ISS 
  5. Jum’at, 18 Januari 2019 14.00-15.50 1 Belajar mandiri dan konsultasi 
  6. Sabtu, 19 Januari 2019 14.00-17.20 2 Presentasi 
  7. Senin, 20 Januari 2019 14.00-17.20 2 Collaborative Learning  
  8. Selasa, 21 Januari 2019 14.00-17.20 2 Role Play & Simulation 
  9. Rabu, 22 Januari 2019 09.00-12.20 2 Pleno Akbar 
  10. Kamis, 23 Januari 2019 09.00-10.50 1 Kuliah Pakar 
  11. Sabtu, 26 Januari 2019 09.00-12.20 2 Ujian Tulis dan responsi 


C. KOMPETENSI YANG DICAPAI 

1. Proses terjadinya gangguan jiwa dalam perspektif keperawatan jiwa, 
2. Konsep stres koping dan rentang sehat sakit jiwa 
3. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan jiwa 
4. Sejarah keperawatan jiwa dan trend issue dalam keperawatan jiwa global 
5. Konseptual model keperawatan jiwa 
6. Pelayanan keperawatan jiwa pada situasi bencana 
7. Peran perawat jiwa 
8. Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin dalam kesehatan dan keperawatan jiwa 
9. Proses keperawatan jiwa 
10. Legal dan etik dalam keperawatan jiwa  
11. Sosiokultural dalam konteks keperawatan jiwa askep sehat jiwa sepanjang kehidupan 
12. Askep klien dengan kecemasan dan kehilangan, askep klien dengan  ketidakberdayaan dan keputusasaan, askep dengan distres spiritual. 

D. METODE EVALUASI 

1. Diskusi/Presentasi individu : 15 % 
2. Ujian responsi   : 15% 
3. Ujian tulis/final   : 30 % 
4. Softskill    : 10 % 
5. Tugas individu/kelompok : 15 % 
6. Absensi    : 5 % 

E. TUTOR 

1. Ns. Muhammad Ikhsan, S.Kep ,M,Kes
2. Ns. Asri Bashir, S.Kep., M.Kep 
3. Ns. Nurlela Mufida, S.Kep., M.Kep 
4. Ns. Ainal Mardhiah, S.Kep., M.Kep 
5. Ns. Iklima S.Kep ,M,Kes
6. Ns. Safrullah, S. Kep., M.Kep 


BAB III KEPERAWATAN JIWA 


A. Proses Terjadinya Gangguan Jiwa Dalam Perfektif Keperawatan Jiwa 

1. Pengertian Gangguan Jiwa Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan masyarakat (Maramis, 2010). 

2. Sumber Penyebab Gangguan Jiwa Manusia bereaksi secara keseluruhan somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 2010). a. Faktor somatik (somatogenik) b. Faktor psikologik (psikogenik) c. Faktor sosial budaya 

3. Proses Perjalanan Penyakit Menurut Maramis (2010), Gejala mulai timbul biasanya pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain 
  • Fase Prodomal 
  • Fase Aktif 
  • Fase Residual 

4. Klasifikasi Gangguan Jiwa Klasifikasi diagnosis gangguan jiwa telah mengalami berbagai penyempurnaan. Pada tahun 1960-an, World Health Organization (WHO) memulai menyusun klasifikasi diagnosis seperti tercantum pada International Classification of Disease (ICD). 

Klasifikasi ini masih terus disempurnakan, yang saat ini telah sampai pada edisi ke sepuluh (ICD X). Asosiasi dokter psikiatri Amerika juga telah mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan diagnosis dan manual statistik dari gangguan jiwa (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder—DSM). Saat ini, klasifikasi DSM telah sampai pada edisi DSM-IV-TR yang diterbitkan tahun 2000. 

Indonesia menggunakan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa (PPDGJ), yang saat ini telah sampai pada PPDGJ III (Maslim, 2002; Cochran, 2010; Elder, 2012; Katona, 2012).  Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien gangguan jiwa dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification) NOC (Nursing Outcame Criteria). 

Untuk di Indonesia menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah keperawatan yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa. Pada penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh masalah keperawatan utama yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:  
a. Perilaku kekerasan; 
b. Halusinasi; 
c. Menarik diri; 
d. Waham; 
e. Bunuh diri; 
f. Defisit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri, makan, aktivitas sehari-hari, buang air); g. Harga diri rendah. 

Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh diagnosis keperawatan terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah sebagai berikut. 
a. Perilaku kekerasan. 
b. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, verbal). 
c. Gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba, penciuman). d. Gangguan proses pikir. 
e. Kerusakan komunikasi verbal. 
f. Risiko bunuh diri. 
g. Isolasi sosial. 
h. Kerusakan interaksi sosial. 
i. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi). 
j. Harga diri rendah kronis. 

B. Konsep Dasar Stress 
1. Pengertian Stress Stress merupakan istilah dari bahasa latin “stingere” yang berarti “keras” (stricus). Istilah ini mengalami perubahan seiring dengan perkembangan penelahaan yang berlanjut dari waktu ke waktu dari straise, strest, strece, dan stress. 
a. Stres adalah kondisi dimana sistem tubuh manusia merespon perubahan pada  keadaan seimbangnya. (Taylor, 1997:775) 
b. Menurut Vincent Cornelli, sebagaimana dikutip oleh Grant Brecht (2000) bahwa yang dimaksud “Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, yang dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut” (Stuart &Sundeen, 2002). Stress adalah tanggapan / reaksi tubuh terhadap berbagai tuntutan atau beban atasnya yang bersifat non spesifik. Namun, disamping itu stress. 

juga dapat merupakan faktor pencetus, penyebab sekaligus akibat gangguan atau penyakit. Faktor-faktor psikososial cukup mempunyai arti bagi terjadinya stress pada diri seseorang. (Stuart &Sundeen, 2002). 

2. Tahapan Stress Gangguan stress baiasanya timbul secara lamban, tidak jelas kapan mulainya dan sering kali kita tidak menyadarinya. Namun demikian dari pengalaman praktik psikiatri, para ahli mencoba membagi stress tersebut dalam empat tahap. Setiap tahap meperlihatkan sejumlah gejala-gejala yang dirasakan oleh yang bersangkutan, hal mana berguna bagi  seseorang dalam rangka mengenali gejala stress sebelum memriksakannya ke dokter. Petunjuk-petunjuk tahapan stress tersebut dikemukakan oleh Robert J. Van Amberg (Psikiater) sebagai berikut : a. Stress tingkat I b. Stress tingkat II c. Sress tingkat III d. Stress tingkat IV e. Stress tingkat V f. Stress tingkat VI 

C. Konsep Dasar Koping 
1. Pengertian Koping Koping adalah suatu tindakan merubah kognitif secara konstan dan merupakan suatu usaha tingkah laku untuk mengatasi tuntutan internal atau eksternal yang dinilai membebani atau melebihi sumber daya alam yang dimiliki individu (Stuart &Laraia, 2005). Koping adalah menejemen stres yang dilalui oleh manusia dan emosi secara umum (kognitif dan usaha perilaku untuk mengatur tuntutan spesifik eksternal dan internal yang dinilai melebihi kemampuan manusia).Koping dapat dihubungkan dengan lingkungan atau seseorang atau sesuatu danperasaan terhadap stres (Stuart &Laraia, 2005). 

2. Mekanisme Koping Mekanisme koping adalah suatu keadaan dimana seseorang harus bisa menyesuaikan diri terhadap masalah yang dihadapinya. (Stuart & Laraia, 2005) 

3. Penggolongan Mekanisme Koping Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (dua) (Stuart dan Sundeen, 1995) yaitu : 
  • Mekanisme koping adiptif Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.
  • Mekanisme koping maladaptif Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan, menghindar. 


4. Koping di kaji dari aspek fisiologis dan psikososial Menurut Stuart dan Laraia, (2005) koping di kaji dari aspek fisiologis dan psikososial, yaitu: 
  • Reaksi Fisiologis 
  • Reaksi Psikososial yaitu 
1.Reaksi Orientasi Tugas Berorientasi terhadap tindakan untuk memenuhi tuntutan dari situasi stress secara realistis, dapat berupa konstruktif atau destruktif. Misal :
a) Perilaku menyerang (agresif) biasanya untuk menghilangkan atau mengatasi rintangan untuk memuaskan kebutuhan.
b) Perilaku menarik diri digunakan untuk menghilangkan sumber-sumber ancaman baik secara fisik atau psikologis. c) Perilaku kompromi digunakan untuk merubah cara melakukan, merubah tujuan atau memuaskan aspek kebutuhan pribadi seseorang. 

2) Reaksi yang berorientasi pada ego Mekanisme pertahanan ego, yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental. Adapun mekanisme pertahanan ego adalah sebagai berikut: 
  • Kompensasi 
  • Penyangkalan (denial) 
  • Pemindahan (displacement) 
  • Disosiasi
  • Identifikasi (identification) 
  • Intelektualisasi (intelectualization) 
  • Introjeksi (Introjection) 
  • Isolasi 
  • Proyeksi 
  • Rasionalisasi 
  • Reaksi formasi
  • Regresi
  • Represi 
  • Pemisahan (splitting) 
  • Sublimasi
  • Supresi 
  • Undoing 

D. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Konsep Diri 
1. Pengertian Konsep Diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri belum muncul saat bayi, tetapi mulai berkembang secara bertahap. Bayi mampu mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain serta mempunyai pengalaman dalam berhubungan dengan orang lain. (Yusuf, AH, 2015). 

2. Rentang Respons Konsep Diri Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung adaptif dan ujung maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga diri rendah, kekacauan identitas, dan depersonalisasi.  

                Adaptif  ======================>  Maladaptif  


Aktualisasi   diri                                                       Depersonalisasi
Konsep diri positif                                                    Kerancuan identitas    
Harga diri rendah                                                    

Gambar. Rentang Respons (Yusuf, AH, 2015). 

Rentang respons konsep diri yang paling adaptif adalah aktualisasi diri. Menurut Maslow karakteristik aktualisasi diri meliputi: 
a. Realistik 
b. Cepat menyesuaikan diri dengan orang lain 
c. Persepsi yang akurat dan tegas 
d. Dugaan yang benar terhadap kebenaran/kesalahan 
e. Akurat dalam memperbaiki masa yang akan datang 
f. Mengerti seni, musik, politik, filosofi 
g. Rendah hati 
h. Mempunyai dedikasi untuk bekerja 
i. Kreatif, fleksibel, spontan, dan mengakui kesalahan 
j. Terbuka dengan ide-ide baru 
k. Percaya diri dan menghargai diri 
l. Kepribadian yang dewasa 
m. Dapat mengambil keputusan 
n. Berfokus pada masalah 
o. Menerima diri seperti apa adanya 
p. Memiliki etika yang kuat 
q. Mampu memperbaiki kegagalan 

3. Komponen Konsep Diri 

Gambar 6.2 Komponen Konsep Diri (Yusuf, AH, 2015). 

a. Citra Tubuh Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari maupun tidak terhadap tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran, fungsi, keterbatasan, makna, dan objek yang kontak secara terus-menerus (anting, make up, pakaian, kursi roda, dan sebagainya) baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh merupakan hal pokok dalam konsep diri (Yusuf, AH, 2015). 

    Konsep Diri 

  1. Citra tubuh 
  2. Ideal diri 
  3. Identitas diri  

Peran Harga diri

b. Ideal Diri Persepsi individu tentang seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai yang diyakininya. Penetapan ideal diri dipengaruhi oleh kebudayaan, keluarga, ambisi, keinginan, dan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan norma serta prestasi masyarakat setempat. Individu cenderung menyusun tujuan yang sesuai dengan kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas, serta inferiority (Yusuf, AH, 2015).

c. Harga Diri Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan. Sebaliknya, individu akan merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai, atau tidak diterima lingkungan. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian. Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas. Coopersmith dalam buku Stuart dan Sundeen (2002) menyatakan bahwa ada empat hal yang dapat meningkatkan harga diri anak, yaitu:  
  • Memberi kesempatan untuk berhasil
  • Menanamkan idealisme 
  • Mendukung aspirasi/ide 
  •  Membantu membentuk koping. 

d. Peran Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat sesuai posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. Hal-hal yang memengaruhi penyesuaian individu terhadap peran antara lain sebagai berikut. (Yusuf, AH, 2015). 

1) Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran dan pengetahuannya tentang peran yang diharapkan. 2) Respons/tanggapan yang konsisten dari orang yang berarti terhadap perannya. 
3) Kesesuaian norma budaya dan harapannya dengan perannya.  
4) Perbedaan situasi yang dapat menimbulkan penampilan peran yang tidak sesuai. 

e. Identitas Diri Identitas adalah kesadaran tentang “diri sendiri” yang dapat diperoleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari individu bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis dari semua gambaran utuh dirinya, serta tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan, dan peran (Yusuf, AH, 2015). Ciri individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut. (Yusuf, AH, 2015). 
1) Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain.  
2) Mengakui jenis kelamin sendiri. 
3) Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan. 
4) Menilai diri sesuai penilaian masyarakat. 
5) Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang.  
6) Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari. 

Ciri individu yang berkepribadian sehat antara lain sebagai berikut. (Yusuf, AH, 2015).  
1) Citra tubuh positif dan sesuai. 
2) Ideal diri realistis. 
3) Harga diri tinggi. 
4) Penampilan peran memuaskan. 
5) Identitas jelas. 



4. Pengkajian Menurut  (Yusuf, AH, 2015) pengkajian konsep diri meliputi : 
a. Faktor Predisposisi 
1) Citra tubuh 
2) Harga diri 
3) Ideal diri 
4) Peran 
5) Identitas diri b. Faktor Presipitasi c. Perilaku 1) Citra tubuh 2) Harga diri rendah 3) Kerancuan identitas 4) Depersonalisasi 

Tabel. Depersonalisasi Afektif Perseptual Kognitif Perilaku
• Kehilangan identitas.
• Perasaan terpisah dari diri.
• Perasaan tidak realistis.
• Rasa terisolasi yang kuat.
• Kurang rasa berkesinambun gan.
• Tidak mampu mencari kesenangan.
• Halusinasi dengar dan lihat.
• Bingung tentang seksualitas diri.
• Sulit membedakan diri dari orang lain.
• Gangguan citra tubuh.
• Dunia seperti dalam mimpi.
• Bingung.
• Disorientasi waktu.
• Gangguan berpikir.
• Gangguan daya ingat.
• Gangguan penilaian.
• Kepribadian ganda.
• Pasif.
• Komunikasi tidak sesuai.
• Kurang spontanitas.
• Kehilangan kendali terhadap impuls.
• Tidak mampu memutuskan
• Menarik diri secara sosial. 

5. Mekanisme Koping  a. Pertahanan jangka pendek b. Pertahanan jangka panjang  
6. Tindakan Keperawatan pada Pasien

 a. Tujuan 
1) Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
2) Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan. 
3) Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan. 
4) Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan. 
5) Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya. (Yusuf, AH, 2015). 
7. Tindakan keperawatan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien. 
b. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan  (Yusuf, AH, 2015). 
c. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan sesuai dengan kemampuan. 
d. Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan. 
e. Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya. 

8. Tindakan Keperawatan pada Keluarga 
a. Tujuan 
1) Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki. 
2) Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai kemampuan. 
3) Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan latihan yang dilakukan. 
4) Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien.  

b. Tindakan keperawatan 
1) Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien. 
2) Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan yang dimiliki. 
3) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam melakukan kegiatan yang sudah dilatihkan pasien dengan perawat. 
4) Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan perilaku pasien. (Yusuf, AH, 2015). 

9. Evaluasi 
a. Kemampuan yang diharapkan dari pasien. 
b. Kemampuan yang diharapkan dari keluarga. 

E. Sejarah Perkembangan Keperawatan Kesehatan Jiwa 

1. Zaman Mesir Kuno Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya roh jahat yang bersarang di otak. Oleh karena itu, cara menyembuhkannya dengan membuat lubang pada tengkorak kepala untuk mengeluarkan roh jahat yang bersarang di otak tersebut (Varcarolis. 2006). Hal ini terbukti dengan ditemukannya lubang di kepala pada orang yang pernah mengalami gangguan jiwa. Selain itu, ditemukan pada tulisan Mesir Kuno tentang siapa saja yang pernah kena roh jahat dan telah dilubangi kepalanya (Varcarolis. 2006). 

2. Zaman Yunani (Hypocrates)  Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Upaya pengobatannya dilakukan oleh dokter dan orang yang berdoa untuk mengeluarkan roh jahat. Pada waktu itu, orang sakit jiwa yang miskin dikumpulkan dan dimasukkan dalam rumah sakit jiwa. Jadi, rumah sakit jiwa lebih banyak digunakan sebagai tempat penampungan orang gangguan jiwa yang miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok. Sementara orang kaya yang mangalami gangguan jiwa dirawat di rumah sendiri (Varcarolis. 2006). 

3. Zaman Vesalius Vesalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja, sehingga ia ingin mempelajari otak dan sistem tubuh manusia. Namun, membelah kepala manusia untuk dipelajari merupakan hal yang mustahil, apalagi mempelajari seluruh sistem tubuh manusia. Akhirnya, ia berusaha mencuri mayat manusia untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya tersebut diketahui masyarakat, sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam hukuman mati (pancung).  

4. Revolusi Prancis I Phillipe Pinel, seorang direktur di RS Bicetri Prancis, berusaha memanfaatkan Revolusi Prancis untuk membebaskan belenggu pada pasien gangguan jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal dengan revolusi humanisme dengan semboyan utamanya “Liberty, Equality, Fraternity”. Ia meminta kepada walikota agar melepaskan belenggu untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya, walikota menolak. Namun, Pinel menggunakan alasan revolusi, yaitu “Jika tidak, kita harus siap diterkam binatang buas yang berwajah manusia”. Perjuangan ini diteruskan oleh murid-murid Pinel sampai Revolusi II (Varcarolis. 2006). 

5. Revolusi Kesehatan Jiwa II Dengan diterima gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka terjadilah perubahan orientasi pada organo biologis. Pada saat ini, Qubius menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam bidang kedokteran. Oleh karena itu, ganguan jiwa dituntut mengikuti paradigma natural sciences, yaitu ada taksonomi (penggolongan penyakit) dan nosologi (ada tanda/gejala penyakit). Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa. Sejak saat itu, kesehatan jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan spesfikasinya masingmasing (Varcarolis. 2006). 

6. Revolusi Kesehatan Jiwa III Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II masih berorientasi pada berbasis rumah sakit (hospital base), maka pada perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis komunitas (community base) dengan adanya upaya pusat kesehatan mental komunitas (community mental health centre) yang dipelopori oleh J.F. Kennedy. Pada saat inilah disebut revolusi kesehatan jiwa III(Varcarolis. 2006). 

F. Model Praktik Keperawatan Jiwa Model adalah suatu cara untuk mengorganisasikan pengetahuan yang kompleks, membantu praktisi, serta memberi arah dan dasar dalam menentukan bantuan yang diperlukan. Model praktik keperawatan jiwa mencerminkan sudut pandang dalam mempelajari penyimpangan perilaku dan proses terapeutik dikembangkan. 

Model praktik dalam keperawatan kesehatan jiwa ini menggambarkan sebuah psikodinamika terjadinya gangguan jiwa (Videbeck, 2008). Beberapa model praktik yang dikembangkan dalam keperawatan kesehatan jiwa antara lain model psikoanalisis, model interpersonal, model sosial, eksistensial, suportif, komunikasi, perilaku, model medik, dan yang paling sering digunakan dalam keperawatan jiwa adalah model stres adaptasi  (Videbeck, 2008). Secara singkat beberapa model dalam praktik keperawatan jiwa seperti terangkum pada tabel berikut. Tabel 2.1 Model Praktik Keperawatan Jiwa 
  • Model 
  • Pandangan Terhadap Penyimpangan Perilaku 
  • Proses Terapeutik 
  • Peran Terapis dan Pasien 
  • Psikoanalitik (S. Frued, Erikson, Klein, Horney, Fromm
  • Perilaku didasarkan pada perkembangan dini dan resolusi konflik yang tidak adekuat. 
  • Psikoanalisis menggunakan teknik asosiasi bebas dan analisis mimpi. Hal ini menginterprestasi perilaku, 
  • Pasien mengungkapkan semua pikiran dan mimpi serta mempertimbangan interprestasi terapis. 
  • Reichmann, Menninger) 
  • Pertahanan ego tidak adekuat untuk mengontrol ansietas. Gejala merupakan upaya untuk mengatasi ansietas dan berkaitan dengan konflik yang tidak terselesaikan 
  • menggunakan transferen untuk memperbaiki pengalaman masa lalu, dan mengidentifikasi area masalah melalui interpretasi resistensi pasien. 
  • Terapis tetap mengupayakan perkembangan transferen, serta menginterpretasikan pikiran dan mimpi pasien dalam kaitannya dengan konflik, transferen, dan resistensi.  
  • Interpersonal (Sullivan, Peplau) 
  • Ansietas timbul dan dialami secara interpersonal.  Rasa takut yang mendasar adalah takut terhadap penolakan.  Seorang membutuhkan rasa aman dan kepuasan yang diperoleh melalui hubungan interpersonal yang positif. 
  • Hubungan antara terapis dan pasien membangun perasaan aman.  Terapis membantu pasien mengalami hubungan yang penuh rasa percaya dan mencapai kepuasan interpersonal. Pasien kemudian dibantu untuk mengembangkan hubungan akrab di luar situasi terapi. 
  • Pasien menceritakan ansietas dan perasaannya pada terapis. Terapis menjalin hubungan akrab dengan pasien, menggunakan empati untuk merasakan perasaan pasien, dan menggunakan hubungan sebagai suatu pengalaman interpersonal korektif. 
  • Sosial (Szasz, Caplan) 
  • Faktor sosial dan lingkungan menciptakan stres, yang menyebabkan ansietas, serta mengakibatkan timbulnya gejala. Perilaku yang tidak dapat diterima (menyimpang) diartikan secara 
  • Pasien dibantu untuk mengatasi sistem sosial.  Mungkin digunakan intervensi krisis.  Manipulasi lingkungan dan menunjukkan dukungan sosial juga diterapkan.  
  • Pasien secara aktif menyampaikan masalahnya kepada terapis dan bekerja sama dengan terapis untuk menyelesaikan masalahnya. Menggunakan sumber yang ada di masyarakat. Terapis menggali sistem sosial pasien dan membantu 
  • sosial dan memenuhi kebutuhan sistem sosial. 
  • Dukungan kelompok sebaya dianjurkan. 
  • pasien menggunakan sumber yang tersedia atau menciptakan sumber baru. 
  • Eksistensial (Perls, Glesser, Ellis, Rogers, Frankl) 

Hidup ini akan sangat berarti apabila seseorang dapat mengalami dan menerima diri (self acceptance ) sepenuhnya. Penyimpangan perilaku terjadi jika individu gagal dalam upayanya untuk menemukan dan menerima diri. Menjadi diri sendiri bisa dialami melalui hubungan murni dengan orang lain. 

Individu dibantu untuk mengalami kemurnian hubungan. Terapi sering dilakukan dalam kelompok. Pasien dianjurkan untuk menggali dan menerima diri dan dibantu untuk mengendalikan perilakunya.  
Pasien bertanggung jawab terhadap perilakunya dan berperan serta dalam suatu pengalaman yang berarti untuk mempelajari tentang diri yang sebenarnya. Terapis membantu pasien untuk mengenal nilai diri. Terapis mengklarifikasi realitas dari suatu situasi dan mengenalkan pasien tentang perasaan tulus dan memperluas kesadaran dirinya.  
  • Suportif (Werman, Rockland) 
  • Masalah terjadi sebagai akibat dari faktor bio-psikososial.  Penekanan pada respons koping maladaptif saat ini. 
  • Uji coba realitas dan peningkatan harga diri. Dukungan sosial diidentifikasi dan respons koping yang adaptif dikuatkan. 
  • Pasien secara aktif terlibat dalam pengobatan. Terapis menjalin hubungan yang hangat dan penuh empati dengan pasien 
  • Komunikasi (Berne, Watzlawick) 
  • Gangguan perilaku terjadi apabila pesan tidak dikomunikasikan dengan jelas. Bahasa dapat digunakan untuk 
  • Pola komunikasi dianalisis dan umpan balik diberikan untuk mengklarifikasi area masalah. 
  • Pasien memperhatikan pola komunikasi, termasuk permainan, dan bekerja untuk mengklarifikasi komunikasinya 
  • merusak makna pesan bisa diteruskan secara serentak pada berbagai tingkatan. Kesan verbal dan nonverbal mungkin tidak selaras. 
  • Analisis transaksional berfokus pada permainan dan belajar untuk berkomunikasi secara langsung tanpa bersandiwara. 
  • sendiri serta memvalidasi pesan dari orang lain. Terapis menginterpretasi pola komunikasi kepada pasien dan mengajarkan prinsipprinsip komunikasi yang baik. 
  • Perilaku (Bandura, Pavlov, Wolpe, Skinner) 
  • Perilaku dipelajari. Peyimpangan terjadi karena manusia telah membentuk kebiasaan perilaku yang tidak diinginkan.  Oleh karena perilaku dapat dipelajari, maka perilaku juga dapat tidak dipelajari. Perilaku menyimpang terjadi berulang karena berguna untuk mengurangi ansietas. Jika demikian, perilaku lain yang dapat mengurangi ansietas dapat dipakai sebagai pengganti. 
  • Terapi merupakan proses pendidikan. Penyimpanyan perilaku tidak dihargai; perilaku yang produktif dikuatkan. Terapi relaksasi dan latihan keasertifan merupakan pendekatan perilaku. 
  • Pasien mempraktikkan teknik perilaku yang digunakan, mengerjakan pekerjaan rumah, dan penggalakan latihan. Pasien membantu mengembangkan hierarki perilaku. Terapis mengajar pasien tentang pendekatan perilaku, membantu mengembangkan hierarki perilaku dan menguatkan perilaku yang diinginkan.
  • Medik (Meyer, Kraeplin, Spitzer, Frances) 
  • Gangguan perilaku disebabkan oleh penyakit biologis. 
  • Diagnosis penyakit dilandasi oleh kondisi yang ada dan informasi historis serta pemeriksaan diagnostik. 
  • Pasien mempraktikkan regimen terapi yang dianjurkan dan melaporkan efek terapi kepada dokter.  
  •  Gejala timbul sebagai akibat dari kombinasi faktor fisiologik, genetik, lingkungan, dan sosial. Perilaku menyimpang berhubungan dengan toleransi pasien terhadap stres. 
  • Pengobatan meliputi terapi somatik dan farmakologik, serta berbagai teknik interpersonal. 
  • Pasien menjalani terapi jangka panjang apabila diperlukan. Terapis menggunakan kombinasi terapi somatik dan terapi interpersonal.  Terapis menegakkan diagnosis penyakit dan menentukan pendekatan terapeutik. 
  • Stres adaptasi (Gail Stuart) 
  • Sehat sakit diidentifikasi sebagai hasil berbagai karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan. 
  • Mengidentifikasi faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping yang digunakan pasien. 
  • Membantu pasien lebih adaptif dalam menghadapi stresor. 


G. Pelayanan Keperawatan Jiwa Komunitas Pelayanan keperawatan jiwa komprehensif adalah pelayanan keperawatan jiwa yang diberikan pada masyarakat pasca bencana dan konflik, dengan kondisi masyarakat yang sangat beragam dalam rentang sehat – sakit yag memerlukan pelayanan keperawatan pada tingkat pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang komprehensif mencakup 3 tingkat pencegahan yaitu pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Keliat, 2007). 

1. Pencegahan Primer Menurut Frisch (2006) fokus pelayanan keperawatan jiwa adalah pada peningkatan kesehatan dan pencegahan terjadinya gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa, mempertahankan dan meningkatkan kesehtan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan jiwa sesuai dengan kelompok umur yaitu anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Aktivitas pada pencegahan primer adalah program pendidikan kesehatan, program stimulasi perkembangan, program sosialisasi kesehatan jiwa, manajemen stress, persiapan menjadi orang tua. Beberapa kegiatan yang dilakukan adalah :
a. Memberikan pendidikan kesehatan pada orangtua antara lain
b. Pendidikan kesehatan mengatasi stress
c. Program pencegahan penyalahgunaan obat 

2. Pencegahan Sekunder Menurut Suliswati (2004) fokus pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah deteksi dini dan penanganan dengan segera masalah psikososial dan gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah menurunkan angka kejadian gangguan jiwa. Target pelayanan adalah anggota masyarakat yang beresiko atau memperlihatkan tanda-tanda masalah dan gangguan jiwa. Aktivitas pada pencegahan sekunder adalah : 
a. Menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh informasi dari berbagai sumber seperti masyarakat, tim kesehatan lain dan penemuan langsung. 
b. Melakukan penjaringan kasus dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:  
1) Melakukan pengkajian 2 menit untuk memperoleh data fokus pada semua pasien yang berobat kepukesmas dengan keluhan fisik. 
2) Jika ditemukan tanda-tanda yang berkaitan dengan kecemasan dan depresi maka lanjutkan pengkajian dengan menggunakan pengkajian keperawatan kesehatan jiwa. 
3) Mengumumkan kepada masyarakat tentang gejala dini gangguan jiwa (di tempat– tempat umum) 4) Memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru yang ditemukan sesuai dengan standar pendelegasian program pengobatan (bekerja sama dengan dokter) dan memonitor efek samping pemberian obat, gejala, dan kepatuhan pasien minum obat. 
5) Bekerja sama dengan perawat komunitas dalam pemberian obat lain yang dibutuhkan pasien untuk mengatasi gangguan fisik yang dialami (jika ada gangguan fisik yang memerlukan pengobatan). 
6) Melibatkan keluarga dalam pemberian obat, mengajarkan keluarga agar melaporkan segera kepada perawat jika ditemukan adanya tanda-tanda yang tidak biasa, dan menginformasikan jadwal tindak lanjut. 
7) Menangani kasus bunuh diri dengan menempatkan pasien ditempat yang aman, melakukan pengawasan ketat, menguatkan koping, dan melakukan rujukan jika mengancam keselamatan jiwa. 
8) Melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan untuk membantu pemulihan pasien seperti terapi aktivitas kelompok , terapi keluarga dan terapi lingkungan. 
9) Memfasilitasi self-help group (kelompok pasien, kelompok keluarga, atau kelompok masyarakat pemerhati) berupa kegiatan kelompok yang mebahas masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara penyelesaiannya. 
10) Menyediakan hotline service untuk intervensikrisis yaitu pelayanan dalam 24 pukul melalu telepon berupa pelayan konseling. 11)  Melakukan tindakkan lanjut (follow-up) dan rujukan kasus. 

3. Pencegahan Tersier Menurut Suliswati (2004) pencegahan tersier adalah pelayanan keperawatan yang berfokus pelayanan keperawatan adalah : pada peningkatkan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan kekambuhan pada pasien gangguan jiwa. Tujuan pelayanan adalah mengurangi kecacatan atau ketidakmampuan akibat gangguan jiwa. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat mengalami gangguan jiwa pada tahap pemulihan. Aktifitas pada pencegahan tersier meliputi : 
a. Program dukungan sosial dengan menggerakan sumber-sumber dimasyarakat  
b. Program rehabilitas untuk memberdayakan pasien dan keluarga hingga mandiri berfokus pada kekuatan dan kemampuan pasien dan keluarga  
c. Program sosialisasi 
d. Program mencegah stigma.  

H. Pelayanan keperawatan jiwa pada situasi bencana Menurut Kementerian Kesehatan (2011) Pada saat kejadian bencana aspek kesehatan jiwa merupakan aspek yang penting karena pada saat bencana terjadi perubahan situasi dari situasi normal ke situasi tidak normal dimana seseorang akan mengalami kehilangan yang berdampak pada terganggunya keseimbangan kondisi psikologis seseorang. Dalam memberikan intervensi untuk kesehatan jiwa pada penanggulangan bencana terdapat fase-fase seperti berikut, antara lain: 

1. fase kedaruratan akut Intervensi sosial dini yang berharga, mencakup : 
a. menjamin dan menyebarkan arus informasi yang kredibel tentang hal berikut : 
1) kedaruratan 
2) upaya menjamin keselamatan fisik masyarakat 
3) informasi upaya bantuan; termasuk apa yang dilakukan oleh masing-masing organisasi kemanusiaan dan dimana lokasinya 
4) keberadaan kerabat untuk mendorong penyatuan keluarga dan jika mungkin menyediakan akses komunikasi dengan kerabat di tempat jauh. 
5) memberikan pengarahan kepada petugas lapangan dari sektor kesehatan, distribusi pangan, kesejahteraan sosial dan pendataan  
6) mengorganisasi penampungan dengan tujuan agar anggota keluarga dan masyarakat tetap berkumpul bersama 
7) Berkonsultasi kepada masyarakat mengenai keputusan dimana akan ditempatkan sarana ibadah, sekolah dan suplai air di penampungan.  
8) Tidak dianjurkan untuk penguburan jenazah tanpa upacara demi pengendalian penyakit menular. berlawanan dengan mitor, jenasah tidak atau sedikit berisiko untuk penyakit menular.  
9) Mendorong kebali dilakukannya aktifitas budaya dan keagamaan yang normal (termasuk upacara berkabung dalam kerja sama dengan praktisi spiritual dan agama) 
10) Mendorong aktifitas yang menfasilitasi masuknya yatim-piatu, janda-duda atau orang yang sebatang kara kedalam jejaring social 
11) Mendorong pengorganisasian aktivitas rekreasional normal untuk anak-anak. penyedia bantuan harus berhati-hati untuk tidak memberikan keperluan rekreasi (misalnya seragam sepak bola, mainan modern) yang dianggap mewah dalam konteks lokal sebelum kedaruratan 
12) Mendorong dimulainya sekolah untuk anak-anak, meskipun tidak penuh 
13)  melibatkan orang dewasa dan remaja dalam kegiatan yang konkret, bertujuan dan diminati bersama  
14) Menyebarkan secara luas informasi yang sederhana, menenteramkan dan empatik tentang reaksi stress normal kepada masyarakat luas, pertemuan dengan pers, siaran radio, poster dan selebaran yang singkat dan tidak bersifat sensasional akan berguna untuk menenteramkan masyarakat. Intervensi psikologik dalam fase akut : 
a) Membuat kontak dengan puskesmas atau pelayanan darurat di area setempat. Menangani keluhan psikiatrik yang mendesak (misalnya keberbahayaan terhadap diri sendiri atau orang lain, psikosis, depresi berat, mania dan epilepsy) di Puskesmas.  
b) Dengan mengasumsikan adanya pekerja masyarakat relawan/non relawan, mengorganisasikan dukungan emosional yang tidak bersifat intrusive dan menjangkau masyarakat dengan menyediakan, jika perlu “pertolongan pertama psikologik” karena kemungkinan efek negative tidak dianjurkan untuk mengadakan debriefing psikologik sesi tunggal (single session psychological debriefing) yang memaksa orang untuk berbagi pengalaman pribadi melebihi yang akan dilakukan secara alami. 
c) Jika fase akut berkepanjangan, mulai pelatihan dan supervise pekerja pelayanan kesehatan Primer dan pekerja kemasyarakatan. 

2. Fase rekonsialiasi akut Menurut Kementerian Kesehatan (2011) saran tentang aktivitas intervensi sosial seperti berikut ini: 
a. melanjutkan intervensi sosial yang relevan  
b. mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi edukasi tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan mental. 
c. mendorong dilakukannya cara koping yang positif yang sudah ada sebelumnya. informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah 
d. Dengan berlalunya waktu, jika kemiskinan adalah masalah yang berlanjut, dorong upaya pemulihan ekonomi.  
e. Dalam hal intervensi psikologik selama fase rekonsolidasi, dianjurkan melakukan aktifitas berikut : 1) Mendidik pekerja kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru, dll)  
2) Melatih dan mensupervisi pekerja Pelayanan Kesehatan Primer dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan mental  
3) Menjamin kesinambungan medikasi pasien psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai akses terhadap medikasi selama fase kedaruratan akut 
4) Melatih dan mensupervisi pekerja komunitas (misalnya pekerja bantuan, konselor) untuk membantu pelayanan kesehatan primer yang beban kerjanya berat. 

3. Fase rekonsolidasi. 
a. Melanjutkan intervensi sosial yang relevan 
b. Mengorganisasi kegiatan psikoedukasi yang menjangkau ke masyarakat untuk memberi pendidikan tentang ketersediaan pilihan pelayanan kesehatan jiwa. 
c. Mendorong dilakukannya cara coping mechanism yang positif yang sudah ada sebelumnya. Informasi itu harus menekankan harapan terjadinya pemulihan alamiah.  
d. Melatih petugas kemanusiaan lain dan pemuka masyarakat (misalnya kepala desa, guru dll.)  
e. Melatih dan mensupervisi petugas pelayanan kesehatan dasar dalam pengetahuan dan ketrampilan dasar kesehatan jiwa (misalnya pemberian medikasi psikotropik yang tepat, “pertolongan pertama psikologi”, konseling suportif, bekerja bersama keluarga, mencegah bunuh diri, penatalaksanaan keluhan somatik yang tak dapat dijelaskan, masalah penggunaan zat dan rujukan). 
f. Menjamin kesinambungan medikasi pasien psikiatrik yang mungkin tidak mempunyai akses terhadap medikasi selama fase kedaruratan akut. 
g. Melatih dan mensupervisi petugas masyarakat  
h. Petugas masyarakat perlu dilatih dan disupervisi dengan baik dalam berbagai ketrampilan inti: penilaian persepsi individual, keluarga dan kelompok tentang masalah yang dihadapi, pertolongan pertama psikologik, menyediakan dukungan emosional, konseling perkabungan (grief counseling), manajemen stres, 'konseling pemecahan masalah', memobilisasi sumber daya keluarga dan masyarakat serta rujukan. 
i. Bekerja sama dengan penyembuh tradisional (traditional healers) jika mungkin. Dalam beberapa keadaan, dimungkinkan kerja sama antara praktisi tradisional dan kedokteran. 
j. Reaksi psikologis yang timbul pada masyarakat yang tertimpa bencana, antara lain: 
  1. reaksi segera ( dalam 24 jam) 
  2. tegang, cemas dan panik; 
  3. kaget, linglung, syok, tidak percaya 
  4. gelisah, bingung 
  5. agitasi, menangis, menarik diri 
  6. rasa bersalah pada korban yang selamat.  

k. Reaksi terjadi dalam hari sampai minggu setelah bencana adalah : 
1) ketakutan, waspada, siaga berlebihan 
2) mudah tersinggung, marah, tidak bisa tidur 
3) khawatir, sangat sedih 
4) Flashbacks berulang (ingatan terhadap peristiwa yang selalu datang berulang dalam pikiran) 
5) Menangis, rasa bersalah 
6) Kesedihan 
7) Reaksi positif termasuk pikiran terhadap masa depan 
8) Menerima bencana sebagai suatu takdir. Semua itu adalah reaksi alamiah dan hanya membutuhkan intervensi psikososial. 
  • Terjadi kira-kira 3 minggu setelah bencana; Reaksi yang sebelumnya ada dapat menetap dengan gejala seperti: 
1) Gelisah
2) perasaan panic 
3) kesedihan yang mendalam dan berlanjut, pikiran pesimistik yang tidak realistik 
4) tidak melakukan aktivitas keluar, isolasi, perilaku menarik diri 
5) ansietas atau kecemasan dengan manifestasi gejala fiisk seperti palpitasi, pusing, mual, lelah, sakit kepala.  

I. Peran Perawat Jiwa Menurut Konsorium Ilmu Kesehatan (2007). Peran perawat jiwa dapat dibagi menjadi 5 bagian yaitu : 
1. Peran sebagai pelaksana kesehatan jiwa 
2. Peran sebagai pendidik  
3. Peran sebagai administrasi 
4. Peran sebagai konseling 
5. Peran sebagai peneliti 

J. Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin Keperawatan Jiwa 

1. Pengertian Pelayanan dan Kolaborasi Interdisiplin Keperawatan 
Jiwa Pelayanan dan kolaborasi interdisiplin keperawatan jiwa merupakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh sekolompok tim kesehatan profesional (perawat, dokter, tim kesehatan lainnya maupun pasien dan  keluarga pasien sakit jiwa) yang mempunyai hubungan yang jelas, dengan tujuan menentukan diagnosa, tindakan-tindakan medis, dorongan moral dan kepedulian khususnya kepada pasien sakit jiwa. 

Pelayanan akan berfungsi baik jika terjadi adanya konstribusi dari anggota tim dalam memberikan pelayanan kesehatan terbaik kepada pasien sakit jiwa. Anggota tim kesehatan meliputi : pasien, perawat, dokter, fisioterapi, pekerja sosial, ahli gizi, manager, dan apoteker. Oleh karena itu tim kolaborasi interdisiplin hendaknya memiliki komunikasi yang efektif, bertanggung jawab dan saling menghargai antar sesama anggota tim. (Stuart, Gail W.2007) 

2. Elemen Penting Dalam Mencapai Kolaborasi Interdisiplin Efektif Menurut Stuart, (2007) . kolaborasi menyatakan bahwa anggota tim kesehatan harus bekerja dengan kompak dalam mencapai tujuan. Elemen penting untuk mencapai kolaborasi interdisiplin yang efektif meliputi kerjasama, asertifitas, tanggung jawab, komunikasi, kewenangan dan kordinasi. 
a. Kerjasama adalah menghargai pendapat orang lain dan bersedia untuk memeriksa beberapa alternatif pendapat dan perubahan kepercayaan.  
b. Ketegasan penting ketika individu dalam tim mendukung pendapat mereka dengan keyakinan. Tindakan asertif menjamin bahwa pendapatnya benar-benar didengar dan konsensus untuk dicapai.  c. Tanggung jawab artinya mendukung suatu keputusan yang diperoleh dari hasil konsensus dan harus terlibat dalam pelaksanaannya.  
d. Komunikasi artinya bahwa setiap anggota bertanggung jawab untuk membagi informasi penting mengenai perawatan pasien sakit jiwa dan issu yang relevan untuk membuat keputusan klinis.  
e. Pemberian pertolongan artinya masing-masing anggota dapat memberikan tindakan pertolongan namun tetap mengacu pada aturanaturan yang telah disepakati. 
f. Kewenangan mencakup kemandirian anggota tim dalam batas kompetensinya. 
g. Kordinasi adalah efisiensi organisasi yang dibutuhkan dalam perawatan pasien sakit jiwa, mengurangi duplikasi dan menjamin orang yang berkualifikasi dalam menyelesaikan permasalahan. h. Tujuan umum artinya setiap argumen atau tindakan yang dilakukan memiliki tujuan untuk kesehatan pasien sakit jiwa. 

Kolaborasi dapat berjalan dengan baik jika
1) Semua profesi mempunyai visi dan misi yang sama 
2) Masing-masing profesi mengetahui batas-batas dari pekerjaannya 
3) Anggota profesi dapat bertukar informasi dengan baik 
4) Masing-masing profesi mengakui keahlian dari profesi lain yang tergabung dalam tim. 

3. Manfaat Kolaborasi Interdisiplin Dalam Pelayanan Keperawatan Jiwa Menurut Stuart, (2007). kolaborasi didasarkan pada konsep tujuan umum, konstribusi praktisi profesional, kolegalitas, komunikasi dan praktek yang difokuskan kepada pasien. Kolegalitas menekankan pada saling menghargai, dan pendekatan profesional untuk masalah-masalah dalam tim dari pada menyalahkan seseorang atau atau menghindari tangung jawab. Beberapa tujuan kolaborasi interdisiplin dalam pelayanan keperawatan jiwa antara lain : 
a. Memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dengan menggabungkan keahlian unik profesional untuk pasien sakit jiwa 
b. Produktivitas  maksimal serta efektifitas dan efesiensi sumber daya 
c. Peningkatnya profesionalisme dan kepuasan kerja, dan loyalitas 
d. Meningkatnya kohesifitas antar profesional 
e. Kejelasan peran dalam berinteraksi antar profesional 
f. Menumbuhkan komunikasi, menghargai argumen dan memahami orang lain. 

4. Hambatan Dalam Melakukan Kolaborasi Interdisiplin dalam Keperawatan Jiwa Menurut Stuart, (2007)
kolaborasi interdisiplin tidak selalu bisa dikembangkan dengan mudah. Ada banyak hambatan antara anggota interdisiplin, meliputi : 
a. Ketidaksesuaian pendidikan dan latihan anggota tim 
b. Struktur organisasi yang konvensional 
c. Konflik peran dan tujuan 
d. Kompetisi interpersonal 
e. Status dan kekuasaan, dan individu itu sendiri 

K. Proses Keperawatan Dalam Keperawatan Jiwa 
Proses keperawatan merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan pada pasien (individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat) yang logis, sistematis, dinamis, dan teratur (Depkes, 1998; Keliat, 2007). Proses ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien. 1. Pengkajian Pengkajian sebagai tahap awal proses keperawatan meliputi pengumpulan data, analisis data, dan perumusan masalah pasien. Data yang dikumpulkan adalah data pasien secara holistik, meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Seorang perawat jiwa diharapkan memiliki kesadaran atau kemampuan tilik diri (self awareness), kemampuan mengobservasi dengan akurat, berkomunikasi secara terapeutik, dan kemampuan berespons secara efektif (Stuart dan Sundeen, 2002) karena hal tersebut menjadi kunci utama dalam menumbuhkan hubungan saling percaya dengan pasien. Secara lebih terstruktur pengkajian kesehatan jiwa meliputi hal berikut.
a. Identitas pasien
b. Keluhan utama/alasan masuk
c. Faktor predisposisi 
d. Aspek fisik/biologis
e. Aspek psikososial f. Status mental
g. Kebutuhan persiapan pulang
h. Mekanisme koping
i. Masalah psikososial dan lingkungan
j. Pengetahuan
k. Aspek medis Format pengkajian dan petunjuk teknis pengisian format pengkajian terlampir pada bagian akhir pokok bahasan ini.

Data tersebut dapat dikelompokkan menjadi data objektif dan data subjektif. Data objektif adalah data yang didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan secara langsung oleh perawat. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan/atau keluarga sebagai hasil wawancara perawat. Setelah data terkumpul dan didokumentasikan dalam format pengkajian kesehatan jiwa, maka seorang perawat harus mampu melakukan analisis data dan menetapkan suatu kesimpulan terhadap masalah yang dialami pasien. Kesimpulan itu mungkin adalah sebagai berikut. (Stuart, Gail W.2007)
a. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan.
b. Ada masalah dengan kemungkinan. Hasil kesimpulan tersebut kemudian dirumuskan menjadi masalah keperawatan. Dalam merumuskan masalah sebaiknya mengacu pada rumusan pada tabel di bawah ini. Tabel 2.6 Rumusan Masalah Keperawatan Pernyataan Diagnostik Tujuan Keperawatan Fokus Intervensi Aktual Perubahan dalam perilaku pasien (beralih ke arah resolusi Mengurangi atau menghilangkan masalah. 


  • diagnosis atau perbaikan status). Risiko tinggi Pemeliharaan kondisi yang ada. 
  • Mengurangi faktor-faktor risiko untuk mencegah terjadinya masalah aktual.  
  • Mungkin Tidak ditentukan kecuali masalah divalidasi. 
  • Mengumpulkan data tambahan untuk menguatkan atau menetapkan tan dan gejala atau faktor risiko. 
  • Masalah kolaboratif 
  • Tujuan keperawatan. Menentukan awitan atau status masalah penatalaksanaan perubahan status. Sumber : Keliat, 2007 

Pasien biasanya memiliki lebih dari satu masalah keperawatan. Sejumlah masalah pasien akan saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah. Untuk membuat pohon masalah, minimal harus ada tiga masalah yang berkedudukan sebagai penyebab (causa), masalah utama (core problem), dan akibat (effect).

Meskipun demikian, sebaiknya pohon masalah merupakan sintesis dari semua masalah keperawatan yang ditemukan dari pasien. Dengan demikian, pohon masalah merupakan rangkat urutan peristiwa yang menggambarkan urutan kejadian masalah pada pasien sehingga dapat mencerminkan psikodimika terjadinya gangguan jiwa.
a. Masalah utama adalah prioritas masalah dari beberapa masalah yang ada pada pasien. Masalah utama bisa didapatkan dari alasan masuk atau keluhan utama saat itu (saat pengkajian).
b. Penyebab adalah sal satu dari beberapa masalah yang merupakan penyebab masalah utama, masalah ini dapat pula disebabkan oleh salah satu masalah yang lain, demikian seterusnya.
c. Akibat adalah salah satu dari beberapa akibat dari masalah utama. Efek ini dapat menyebabkan efek yang lain dan demikian selanjutnya. 

2. Diagnosis 

Menurut Carpenito (2003), diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual atau potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi (E) dan keduanya ada hubungan sebab akibat secara ilmiah. Perumusan diagnosis keperawatan jiwa mengacu pada pohon masalah yang sudah dibuat. Misalnya pada pohon masalah di atas, maka dapat dirumuskan diagnosis sebagai berikut.
a. Sebagai diagnosis utama, yakni masalah utama menjadi etiologi, yaitu risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
b. Perubahan sensori persepsi: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik diri.
c. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah kronis. 

  • Distres spiritual 
  • Kerusakan komunikasi verbal 
  • Risiko  penelantaran diri 
  • Gangguan konsep diri: harga diri rendah 
  • Intoleransi  aktivitas 
  • Risiko mencederai diri sendiri, orang lain atau lingkungan 
  • Defisit  perawatan diri 
  • Perubahan isi pikir: waham kebesaran 
  • Perubahan persepsi sensori: halusinasi dengar 
  • Isolasi sosial: menarik diri 
  • Respons pascatrauma 
  • Koping individu inefektif 
  • Risiko kambuh 
  • Regimen terapeutik tidak adekuat 
  • Koping keluarga inefektif 
Pada rumusan diagnosis keperawatan yang menggunakan typology single diagnosis, maka rumusan diagnosis adalah menggunakan etiologi saja. Berdasarkan pohon masalah di atas maka rumusan diagnosis sebagai berikut.
1) Gangguan Persepsi Sensori: halusinasi.
2) Isolasi sosial: menarik diri.
3) Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis. 

3. Rencana Tindakan Keperawatan 
Rencana tindakan keperawatan terdiri atas empat komponen, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, rencana tindakan keperawatan, dan rasional. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian masalah (P). Tujuan ini dapat dicapai jika tujuan khusus yang ditetapkan telah tercapai. Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E). Tujuan ini merupakan rumusan kemampuan pasien yang harus dicapai. Pada umumnya kemampuan ini terdiri atas tiga aspek, yaitu sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 2002).

Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat dilaksanakan untuk mencapai setiap tujuan khusus. Sementara rasional adalah alasan ilmiah mengapa tindakan diberikan. Alasan ini bisa didapatkan dari literatur, hasil penelitian, dan pengalaman praktik. Rencana tindakan yang digunakan di tatanan kesehatan kesehatan jiwa disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan jiwa Indonesia. Standar keperawatan Amerika menyatakan terdapat empat macam tindakan keperawatan, yaitu
(1) asuhan mandiri,
(2) kolaboratif,
(3) pendidikan kesehatan, dan
(4) observasi lanjutan. Tindakan keperawatan harus menggambarkan tindakan keperawatan yang mandiri, serta kerja sama dengan pasien, keluarga, kelompok, dan kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa yang lain. Fase orientasi menggambarkan situasi pelaksanaan tindakan yang akan dilakukan, kontrak waktu dan tujuan pertemuan yang diharapkan. Fase kerja berisi beberapa pertanyaan yang akan diajukan untuk pengkajian .

lanjut, pengkajian tambahan, penemuan masalah bersama, dan/atau penyelesaian tindakan. Fase terminasi merupakan saat untuk evaluasi tindakan yang telah dilakukan, menilai keberhasilan atau kegagalan, dan merencanakan untuk kontrak waktu pertemuan berikutnya. Dengan menyusun LPSP, mahasiswa diharapkan tidak mengalami kesulitan saat wawancara atau melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien gangguan jiwa. Hal ini terjadi karena semua pertanyaan yang akan diajukan sudah dirancang, serta tujuan pertemuan dan program antisipasi telah dibuat jika tindakan atau wawancara tidak berhasil. Berikut salah satu contoh bentuk LPSP. ( Stuart, Gail W.2007) 


LAPORAN PENDAHULUAN STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN (SP 1) 

A. Proses Keperawatan
1. Kondisi Klien: Bapak D mendengar suara-suara yang memaki-maki dirinya, ekspresi wajah tampak tegang, gelisah, dan mulut komat-kamit.
2. Diagnosis/Masalah Keperawatan: Gangguan sensori persepsi: halusinasi
3. Tujuan:

  • TUM : Klien tidak mencederai, diri, orang lain, dan lingkungan 
  • Tuk 1 : Klien dapat membina hubungan saling percaya 
  • Tuk 2 : Klien dapat mengenal halusinasinya 
  • Tuk 3 : Klien dapat mengontrol halusinasi 

4. Tindakan keperawatan.
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya dan diskusikan dengan klien mengenai isi, waktu, frekuensi halusinasi, situasi yang menimbulkan halusinasi, hal yang dirasakan jika  berhalusinasi, hal yang dilakukan untuk mengatasi, serta dampak yang dialaminya.
c. Identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi.
d. Diskusikan cara baru untuk memutus/mengontrol timbulnya halusinasi.
e. Bantu klien memilih satu cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya. 


B. Strategi Pelaksanaan Orientasi:

“Selamat pagi pak, nama saya Rizki, nama Bapak siapa? Senang dipanggil apa?” “Bagaimana perasaan Bapak hari ini? Bagaimana dengan tidurnya semalam?” “ Tidak bisa tidur? Apa yang menyebabkan Bapak tidak bisa tidur?” “Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara yang membuat bapak tidak bisa tidur? Di mana kita duduk? Di ruang tamu? Berapa lama? Bagaimana kalau 20 menit” Kerja: “Bapak D mendengar suara tanpa ada wujud?Apa yang dikatakan suara itu?”

“ Apakah terus-menerus terdengar atau sewaktu-waktu? Kapan yang paling sering Bapak D dengar suara? Berapa kali sehari Bapak D alami? Pada keadaan apa suara itu terdengar?” “Saya mengerti Bapak D mendengar suara itu tapi saya sendiri tidak mendengarnya”. “Apa yang bapak D rasakan pada saat mendengar suara itu?” “Apa yang Bapak D lakukan saat mendengar suara itu? Apakah dengan cara itu suara-suara itu hilang? Bagaimana kalau kita belajar cara-cara untuk mencegah suara-suara itu muncul?” “Bapak D, ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul. Pertama, dengan menghardik suara tersebut.

Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain. Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal, dan yang keempat minum obat dengan teratur.” “Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik”. “Caranya yaitu saat suara-suara itu muncul, langsung Bapak D bilang, ‘Pergi saya tidak mau dengar, … Saya tidak mau dengar. Kamu suara palsu’. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tak terdengar lagi. Coba bapak D peragakan! Nah begitu, … bagus! "Coba lagi!" "Ya bagus Bapak D sudah bisa”.

“Sekarang cara yang sudah Bapak bisa itu kita masukkan ke dalam jadwal yah Pak?” “Jam berapa saja Bapak D mau latihan?” “Selain jam 11 jam berapa lagi?" "Yah jam 4 sore ya Pak, bagaimana kalau malam hari juga, karena Bapak D dengar suara itu malam hari, baiklah jam berapa Bapak D mau latihan untuk yang malam hari?” "Jam 9 malam yah Bapak D? Saya tulis disini Bapak D”.  Terminasi “Bagaimana perasaan Bapak D setelah latihan tadi? Bisa Bapak D ulang lagi cara apa saja yang bisa Bapak D lakukan untuk mengurangi suara-suara itu?" "Bagus sekali, Bapak D bisa peragakan kembali satu cara yang sudah kita praktikkan?" "Bagus ya Bapak D.

Kalau Bapak lihat jadwal ini jam berapa saja Bapak D harus latihan?" "Bagus Bapak D, jadi nanti jangan lupa di jam itu Bapak D harus latihan ya!” "Bagaimana kalau kita bertemu lagi untuk belajar dan latihan mengendalikan suara-suara dengan cara yang kedua? Jam berapa Bapak D? Bagaimana kalau satu jam lagi? Berapa lama kita akan bicara? Di mana tempatnya. Sampai ketemu nanti ya Pak, selamat pagi Bapak D?” 

4. Implementasi 

Tindakan Keperawatan Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih sesuai dengan kondisi pasien saat ini (here and now). Perawat juga perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan 

teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Setelah tidak ada hambatan lagi, maka tindakan keperawatan bisa diimplementasikan. Saat memulai untuk implementasi tindakan keperawatan, perawat harus membuat kontrak dengan pasien dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta pasien yang diharapkan. Kemudian penting untuk diperhatikan terkait dengan standar tindakan yang telah ditentukan dan aspek legal yaitu mendokumentasikan apa yang telah dilaksanakan. (Suliswati, 2005) 5.

Evaluasi 
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu
(1) evaluasi proses atau evaluasi formatif, yang dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2) evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditetapkan. (Suliswati, 2005) Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.

  • S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.  
  • O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.  
  • A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap masalah yang ada.  
  • P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien. 

Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
2. Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua tindakan tetapi hasil belum memuaskan).
3. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan masalah yang ada). 
Rencana selesai jika tujuan sudah tercapai dan perlu mempertahankan keadaan baru. 

L. Aspek Legal dan Etik

dalam Keperawatan Jiwa Pokok bahasan aspek legal dan etis dalam keperawatan jiwa diawali dengan pembahasan peran fungsi perawat jiwa, domain aktivitas keperawatan jiwa, standar praktik keperawatan jiwa, dan penerapan konsep etika dalam keperawatan jiwa. Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks dari elemen historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa sekarang mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiskal (keuangan), kolaborasi profesional, akuntabilitas (tanggung gugat) sosial, serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian, dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga area utama yaitu:

1. aktivitas asuhan langsung,
2. aktivitas komunikasi, dan
3. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan. Tabel 2.3 Domain Aktivitas Keperawatan Jiwa Aktivitas Asuhan Langsung Aktivitas Komunikasi Aktivitas Penatalaksanaan
• Advokasi
• Tindak lanjut setelah keperawatan
• Penanggulangan perilaku
• Konsultasi kasus
• Pengelolaan kasus
• Penanggulangan kognitif
• Penyuluhan komunitas
• Konferensi kasus klinik
• Mengembangkan rencana penanggulangan
• Dokumentasi asuhan
• Kesaksian forensic
• Hubungan antaragen
• Umpan balik sejawat
• Alokasi sumber dan anggaran
• Penyelia klinik
• Kolaborasi
• Peran serta komite
• Tindakan komunitas
• Hubungan konsultasi
• Negosiasi kontrak
• Koordinasi pelayanan
• Delegasi penugasan
• Penulisan jaminan 
• Konseling kepatuhan
• Intervensi krisis
• Perencanaan pulang
• Intervensi keluarga
• Kerja kelompok
• Peningkatan kesehatan
• Penyuluhan kesehatan
• Pengkajian risiko tinggi
• Kunjungan rumah
• Konseling individu
• Skrining dan evaluasi masukan
• Pemberian pengobatan
• Penatalaksanaan pengobatan
• Peningkatan kesehatan mental
• Pernik-pernik terapi
• Konseling nutrisi
• Informed consent
• Penyuluhan orang tua
• Triase pasien
• Pengkajian fisik
• Penanganan psikologis
• Terapi bermain
• Obat-obatan yang diresepkan
• Memberikan keamanan lingkungan
 • Pengkajian psikososial
• Psikoterapi 
• Menyiapkan laporan
• Jaringan kerja perawat professional
• Pertemuan staf
• Penulisan order
• Pertemuan tim
• Laporan verbal tentang asuhan 
• Pemasaran dan humas
• Mediasi dan resolusi konflik
• Pengkajian dan perkiraan kebutuhan
• Penguasaan organisasi
• Penatalaksanaan hasil
• Evaluasi kinerja
• Pengembangan kebijakan dan prosedur
• Presentasi professional
• Evaluasi program •
 Perencanaan program
 • Publikasi
• Aktivitas peningkatan kualitas
• Aktivitas rekrutmen dan retensi
• Aktivitas badan legislasi
• Penatalaksanaan risiko
• Pengembangan perangkat lunak
• Penjadwalan staf
• Penyuluhan staf dan peserta didik
• Perencanaan strategis
• Penguasaan unit
• Umpan balik pendayagunaan 
• Pencegahan kekambuhan
• Implementasi penelitian
• Aktivitas perawatan dir
• Pelatihan ketrampilan social
• Penanganan somatic
• Penatalaksanaan stress 
(Sumber : Hamid, 2008 )

Dalam menjalankan peran fungsinya, perawat jiwa harus mampu mengidentifikasi, menguraikan, dan mengukur hasil asuhan yang mereka berikan pada pasien, keluarga, dan komunitas. Hasil adalah semua hal yang terjadi pada pasien dan keluarga ketika mereka berada dalam sistem pelayanan kesehatan, dapat meliputi status kesehatan, status fungsional, kualitas kehidupan, ada atau tidaknya penyakit, jenis respons koping, serta kepuasan terhadap tindak penanggulangan. Evaluasi hasil dapat berfokus pada kondisi klinik, intervensi, dan proses pemberian asuhan. Berbagai hasil dapat dievaluasi mencakup indikator-indikator klinik, fungsional, finansial, serta perseptual kepuasan pasien dan keluarga seperti pada tabel berikut.
Tabel 2.4 Indikator Hasil Tindakan Keperawatan Jiwa Indikator Hasil Tindakan Indikator Hasil Klinik
• Perilaku risiko tinggi
• Simptomatologi
• Respons koping
• Kekambuhan
• Kejadian berulang
• Masuk kembali di rumah sakit
• Jumlah episode penanggulangan
 • Komplikasi medic
• Laporan insidens
• Mortalitas Indikator Hasil Fungsional
• Status fungsional
• Interaksi social
• Kualitas hidup
• Hubungan keluarga 
• Aktivitas hidup sehari-hari
• Kemampuan okupasional 
• Penataan rumah 
Indikator Hasil Perseptual, Kepuasan Pasien, dan Keluarga
• Hasil
• Pemberi pelayanan
• Sistem pelayanan
• Pelayanan yang diterima
• Organisasi Indikator Hasil Finansial
• Biaya perepisode penanggulangan
• Pajak tiap episode penanggulangan
• Lama masa rawat inap
• Penggunaan sumber pelayanan kesehatan
• Biaya yang berhubungan dengan kecacatan
(Sumber : Hamid, 2008 M. )

Etik dalam Keperawatan

Jiwa Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan, atau adat kebiasaan yang etika tersebut berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Penerapan aspek etik dalam keperawatan jiwa sangat terkait dengan pemberian diagnosis, perlakuan atau cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat, serta peraturan atau hukum yang berlaku. (Suliswati, 2005).

a. Pemberian Diagnosis Seseorang yang telah didiagnosis gangguan jiwa, misal skizofrenia, maka dia akan dianggap sebagai orang yang mengalami pecah kepribadian (schizo = kepribadian, phren = pecah).
Beberapa kriteria diagnosis menyebutkan gangguan jiwa adalah ketidakmampuan seseorang dalam mengadakan relasi dan pembatasan terhadap orang lain dan lingkungan.  Gangguan jiwa ringan merupakan adanya masalah pada aspek psikososial (cemas dan gangguan respons kehilangan atau berduka).
Setiap orang mengalami masalah psikososial karena merupakan tantangan dalam kehidupan agar manusia lebih maju dan berkembang. Gangguan jiwa berat memang merupakan gangguan perilaku kronis, yang sebenarnya merupakan gangguan perilaku yang telah lama diabaikan. Di sinilah  pelanggaran etika terjadi, bergantung pada diagnosis yang dialami pasien. Olah karenanya, untuk mendiagnosis gangguan jiwa berat (skizofrenia) harus menggunakan kriteria waktu bahwa gangguan yang dialami pasien telah terjadi dalam waktu yang lama.( Suliswati, 2005)

b. Hak Pasien Beberapa aturan di Indonesia sering mendiskreditkan pasien gangguan jiwa, yaitu seseorang yang mengalami gangguan jiwa tanda tangannya tidak sah. Dengan demikian, semua dokumen (KTP, SIM, paspor, surat nikah, surat wasiat, atau dokumen apapun) tidak sah jika ditandatangani pasien gangguan jiwa.

Haruskah demikian? Bagaimana dengan hak pasien sebagai warga negara umumnya? Proses rawat inap dapat menimbulkan trauma atau dukungan, yang bergantung pada institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf, serta jenis penerimaan atau cara masuk rumah sakit. Ada tiga jenis proses penerimaan pasien yang masuk ke rumah sakit jiwa, yaitu masuk secara informal, sukarela, atau masuk dengan paksaan. (Suliswati, 2005)

Beberapa ketentuan di atas mungkin tidak berlaku di Indonesia, tetapi perlu diperhatikan hak pasien sebagai warga negara setelah pasien menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan. Menurut Undang-Undang Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Beberapa hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak Negara Bagian di Amerika antara lain sebagai berikut.
1) Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.
2) Hak terhadap barang pribadi.
3) Hak menjalankan keinginan.
4) Hak terhadap “Habeas Corpus”.
5) Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri.
6) Hak terhadap keleluasaan pribadi. 

7) Hak persetujuan tindakan (informed consent). 8) Hak pengobatan.  9) Hak untuk menolak pengobatan. 

N. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Ansietas 

1. Pengertian Ansietas Ansietas adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi (Videbeck, 2008). Ansietas atau kecemasan adalah respons emosi tanpa objek yang spesifik yang secara subjektif dialami dan dikomunikasikan secara interpersonal (Suliswati, 2005).

Ansietas adalah suatu kekhawatiran yang berlebihan dan dihayati disertai berbagai gejala  sumatif, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau penderitaan yang jelas bagi pasien (Mansjoer, 2001).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ansietas adalah respons emosi tanpa objek, berupa perasaan takut dan kekhawatiran yang tidak jelas dan berlebihan dan disertai berbagai gejala sumatif yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau penderitaan yang jelas bagi pasien.

2. Tanda dan Gejala
Ansietas Keluhan-keluhan yang sering dikemukan oleh orang yang mengalami ansietas (Hawari, 2008), antara lain sebagai berikut :
a. Cemas, khawatir, firasat buruk, takut akan pikirannya sendiri, mudah tersinggung.
b. Merasa tegang, tidak tenang, gelisah, mudah terkejut.
c. Takut sendirian, takut pada keramaian dan banyak orang.
d. Gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang menegangkan.
e. Gangguan konsentrasi dan daya ingat.
f. Keluhan-keluhan somatik, misalnya rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), berdebar-debar, sesak nafas, gangguan pencernaan, gangguan perkemihan, sakit kepala dan sebagainya.

3. Tingkatan Ansietas

Ansietas memiliki dua aspek yakni aspek yang sehat dan aspek membahayakan, yang bergantung pada tingkat ansietas, lama ansietas yang dialami, dan seberapa baik individu melakukan koping terhadap ansietas. Menurut Peplau (dalam, Videbeck, 2008) ada empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu yaitu ringan, sedang, berat dan panik.

a. Ansietas ringan 
adalah perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan membutuhkan perhatian khusus. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas ringan adalah sebagai berikut :
1) Respons fisik
2) Respon kognitif
3) Respons emosional

b. Ansietas sedang 
merupakan perasaan yang menggangu bahwa ada sesuatu yang benar-benar berbeda; individu menjadi gugup atau agitasi. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas sedang adalah sebagai berikut :
1) Respon fisik :
2) Respons kognitif
3) Respons emosional

c. Ansietas berat,
yakni ada sesuatu yang berbeda dan ada ancaman, memperlihatkan respons takut dan distress. Menurut Videbeck (2008), respons dari ansietas berat adalah sebagai berikut :
1) Respons fisik
2) Respons kognitif
3) Respons emosional

d. Panik,
individu kehilangan kendali dan detail perhatian hilang, karena hilangnya kontrol, maka tidak mampu melakukan apapun meskipun dengan perintah. Menurut Videbeck (2008), respons dari panik adalah sebagai berikut :
1) Respons fisik
2) Respons kognitif
3) Respon emosional
4. Faktor Predisposisi Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa:

  • Peristiwa traumatik 
  • Konflik emosional 
  • Konsep diri  
  • Frustasi  
  • Gangguan fisik 
  • Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga menangani stress  
  • Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga  
  • Medikasi  
5. Faktor presipitasi 
Stresor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005). Stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ancaman terhadap integritas fisik. 
Ketegangan yang mengancam integritas fisik yang meliputi :

  • Sumber internal 
  • Sumber eksternal 
b. Ancaman 
terhadap harga diri meliputi sumber internal dan eksternal.

  • Sumber internal  
  • Sumber eksternal  

6. Sumber Koping 
Individu dapat menanggulangi stress dan kecemasan dengan menggunakan atau mengambil sumber koping dari lingkungan baik dari sosial, intrapersonal dan interpersonal. Sumber koping diantaranya adalah aset ekonomi, kemampuan memecahkan masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini. Dengan integrasi sumber-sumber koping tersebut individu dapat mengadopsi strategi koping yang efektif (Suliswati, 2005).

7. Mekanisme Koping
Kemampuan individu menanggulangi kecemasan secara konstruksi merupakan faktor utama yang membuat klien berperilaku patologis atau tidak. Bila individu sedang mengalami kecemasan ia mencoba menetralisasi, mengingkari atau meniadakan kecemasan dengan mengembangkan pola koping.

Pada kecemasan ringan, mekanisme koping yang biasanya digunakan adalah menangis, tidur, makan, tertawa, berkhayal, memaki, merokok, olahraga, mengurangi kontak mata dengan orang lain, membatasi diri pada orang lain (Suliswati, 2005). 
Mekanisme koping untuk mengatasi kecemasan sedang, berat dan panik membutuhkan banyak energi. Menurut Suliswati (2005), mekanisme koping yang dapat dilakukan ada dua jenis, yaitu :
a. Task oriented reaction atau reaksi yang berorientasi pada tugas.
b. Ego oriented reaction atau reaksi berorientasi pada ego.

8. Penatalaksanaan Ansietas Menurut Hawari (2008) 
penatalaksanaan asietas pada tahap pencegahaan dan terapi memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat holistik, yaitu mencangkup fisik (somatik), psikologik atau psikiatrik, psikososial dan psikoreligius. Selengkpanya seperti pada uraian berikut :
a. Upaya meningkatkan kekebalan terhadap stress,
1) Terapi psikofarmaka.
2) Terapi psikoreligius

9. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Ansietas

a.  Pengkajian 
Pengkajian ditujukan pada fungsi fisiologis dan perubahan perilaku melalui gejala atau mekanisme koping sebagai pertahanan terhadap kecemasan. Menurut Stuart dan Sundeen (1995), data fokus yang perlu dikaji pada klien yang mengalami ansietas adalah sebagai berikut : 

1) Perilaku
2) Ansietas dapat diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku yang secara tidak langunsg melalui timbulnya gejala atau mekanisme koping sebagai upaya untuk melawan ansietas.
3) Faktor predisposisi
4) Faktor presipitasi
5) Sumber koping
6) Mekanisme koping

b. Diagnosa Keperawatan 
Ansietas termasuk diagnosa keperawatan dalam klasifikasi The North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) (Nurjannah, 2004), faktor yang berhubungan :
1) Terpapar racun
2) Konflik yang tidak disadari tentang nilai-nilai utama atau tujuan hidup.
3)  Berhubungan dengan keturunan atau hereditas.
4) Kebutuhan tidak terpenuhi
5) Transmisi interpersonal
6) Krisis situasional atau maturasional
7) Ancaman kematian
8) Ancaman terhadap konsep diri
9) Stress
10)  Fungsi peran
11)  Lingkungan status ekonomi 

Sedangkan menurut Suliswati (2005), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan ansietas adalah :
1) Panik berhubungan dengan penolakan keluarga karena bingung dan gagal mengambil keputusan. 2)  Kecemasan berat berhubung dengan konflik perkawinan.
3) Kecemasan sedang berhubungan dengan tekanan finansial.
4) Ketidakefektifan koping individu berhubung dengan kematian saudara. 

c. Intervensi 
Untuk menetukan intervensi keperawatan, maka terlebih dahulu disusun NOC (Nursing Outcome Classification) dan NIC (Nursing Intervensi Classification), adapun NOC dan NIC untuk ansietas, adalah sebagai berikut: 

Nursing Outcome Classification (NOC) pada ansietas terdiri dari ansietas kontrol dan mekanisme koping, yaitu sebagai berikut : Ansietas kontrol, dengan ketentuan (1-5; tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, konsisten), dengan indikator .
1) Monitor intensitas kecemasan
2) Menyikirkan tanda kecemasan
3) Mencari informasi untuk menurunkan kecemasan
4) Merencanakan strategi koping
5) Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan kecemasan
6) Melaporkan penurunan durasi dan episode cemas
7) Melaporkan tidak adanya manifestasi fisik dan kecemasan
8) Tidak adaa manifestasi perilaku kecemasan Koping,

dengan ketentuan (1-5; tidak pernah, jarang, kadangkadang, sering, konsisten), dengan indikator :
1) Menunjukkan fleksibilitas peran
2) Keluarga menunjukkan fleksibilitas peran para anggotanya
3) Melibatkan angoota keluarga dalam membuat keputusan
4) Mengekspresikan perasaan dan kebebasan emosional 5) Menunjukkan strategi penurunan stress 

NIC (Nursing Intervensi Classification) Nursing Intervensi Classification (NIC) pada klien yang mengalami ansietas, terdiri dari penurunan kecemasan dan peningkatan koping, seperti pada uraian berikut: Penurunan kecemasan
1) Tenangkan klien
2) Berusaha memahami keadaan klien
3) Berikan informasi tentang diagnosa prognosis dan tindakan
4) Kaji tingkat kecemasan dan reaksi fisik pada tingkat kecemasan.
5) Gunakan pendekatan dan sentuhan 
6) Temani pasien untuk mendukung keamanan dan penurunan rasa takut
7) Sediakan aktifitas untuk menurunkan ketegangan
8) Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menciptakan cemas
9) Dukung penggunaan mekanisme defensive dengan cara yang tepat
10) Tentukan kemampuan klien untuk mengambil keputusan
11) Intruksikan kemampuan klien untuk menggunakan teknik relaksasi
12) Berikan pengobatan untuk menurunkan cemas dengan cara yang tepat Peningkatan koping
13) Hargai pemahaman pasien tentang proses penyakit
14) Hargai dan diskusikan alternative respon terhadap situasi
15) Gunakan pendekatan yang tenang dan memberikan jaminan
16) Sediakan informasi actual tentang diagnosa, penanganan dan prognosis
17) Sediakan pilihan yang realistis tentang aspek perawatan saat ini
18) Dukung penggunaan mekanisme defensive yang tepat
19) Dukung keterlibatan keluarga dengan cara yang tepat
20) Bantu pasien untuk mengidentifikasi startegi postif untuk mengatasi keterbatasan dan mengelola gaya hidup atau perubahan peran. 

O. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Kehilangan Dan Berduka
1. Pengertian 

Kehilangan dan berduka Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti sejak kejadian tersebut.  Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain. Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan.

NANDA merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan berduka disfungsional (Yosep, 2007).

2. Tanda dan gejala kehilangan Menurut Keliat, (2009) 
tanda dan gejala kehianganadalah:
a. Ungkapan kehilangan
b. Menangis
c. Gangguan tidur
d. Kehilangan nafsu makan
e. Sulit berkonsentrasi
f. Karakteristik berduka yang berkepanjangan,yaitu:

  • Mengingkari kenyataan kehilngan terjadi dalam waktu yang lama
  • Sedih berkepanjangan 
  • Adanya gejala fisik yang berat 
  • Keinginan untuk bunuh diri 
3. Faktor – faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan: 
a. Arti dari kehilangan 
b. Sosial dan budaya 
c. Kepercayaan spiritual 
d. Peran seks 
e. Status sosial ekonomi 
f. Kondisi fisik dan psikologi individu (Yosef, 2007) 

4. Tipe kehilangan Kehilangan dibagi menjadi 2 tipe yaitu: 
  • Aktual atau nyata 
  • Persepsi 
5. Jenis-jenis Kehilangan Menurut April, (2004) terdapat 5 katagori kehilangan, yaitu:
a. Kehilangan seseorang  seseorang yang dicintai
b. Kehilangan yang ada pada diri sendiri (loss of self) 
c. Kehilangan objek eksternal
d. Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal
e. Kehilangan kehidupan/ meninggal

6. Fase-fase kehilangan dan berduka 
Fase berduka menurut kubler  rose :
a. Fase penyangkalan(Denial)
b. Fase marah (anger)
c. Fase depresi d. Fase penerimaan (acceptance)

7. Konsep Askep pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka

a. Pengkajian Menurut Keliat, (2009) 
pengkajian yang harus dilakukan pada pasien berduka dan kehilangan adalah sebagai berikut:
1) Faktor predisposisi Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:

  •  Faktor Genetic   
  • Kesehatan Jasmani :
  • Kesehatan Mental 
  • Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu 
  • Struktur Kepribadian 
  • Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi. 
2) Faktor presipitasi Ada beberapa stressor yang dapatmenimbulkan perasaan kehilangan. Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psikososial antara lain meliputi;

  • Kehilangan kesehatan 
  • Kehilangan fungsi seksualitas 
  • Kehilangan peran dalam keluarga 
  • Kehilangan posisi di masyarakat 
  • Kehilangan harta benda atau orang yang dicintai 
  • Kehilangan kewarganegaraan 
3) Mekanisme koping Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara lain: Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan Proyeksi yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam.

4) Respon Spiritual
5) Respon Fisiologis
6) Respon Emosional
7) Perilaku

b. Diagnosa keperawatan Lynda Carpenito (2003),

dalam Nursing Diagnostic Application to Clinicsl Pratice, menjelaskan tiga diagnosis keperawatan untuk proses berduka yang berdasarkan pada pada tipe kehilangan. NANDA 2011 diagnosa keperawatan yang berhibungan dengan asuhan keperawatan kehilangan dan berduka adalah :
1) Duka cita
2) Duka cita terganggu
3) Risiko duka cita terganggu

c. Intervensi Menurut Keliat, (2009) 
intervensi untuk klien yang berduka :
1) Kaji persepsi klien dan makna kehilangannya. Izinkan penyangkalan yang adaptif.
2) Dorong atau bantu klien untuk mendapatkan dan menerima dukungan.
3) Dorong klien untuk mengkaji pola koping pada situasi kehilangan masa lalu saat ini.
4) Dorong klien untuk meninjau kekuatan dan kemampuan personal. 
5) Dorong klien untuk merawat dirinya sendiri.
6) Tawarkan makanan kepada klien tanpa memaksanya untuk makan.
7) Gunakan komunikasi yang efektif.
8) Tawarkan kehadiran dan berikan pertanyaan terbuka
9) Bina hubungan dan pertahankan keterampilan interpersonal  

Menurut Keliat, (2009) Intervensi  keperawatan pada pasien dengan respon kehilangan
1) Bina dan jalin hubungan saling percaya
2) Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang menyakitkan dengan pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya
3) Identifikasi kemungkinan faktor yang menghambat proses berduka
4) Kurangi atau hilangkan faktor penghambat proses berduka
5) Beri dukungan terhadap repon kehilangan pasien
6) Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
7) Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase kehilangan dan berduka d. Implementasi  Pada fase implementasi perawat melakukan seluruh intervensi yang telah direncanakan untuk klien

e. Evaluasi 
1) Klien mampu mengungkapkan perasaannya secara spontan
2) Klien menunjukkan tanda-tanda penerimaan terhadap kehilangan
3) Klien dapat membina hubungan yang baik dengan orang lain
4) Klien mempunyai koping yang efektif dalam menghadapi masalah akibat kehilangan
5) Klien mampu minum obat dengan cara yang benar 

P. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan  Ketidakberdayaan 

1. Pengertian 
Ketidakberdayaan adalah perasaan yang dialami semua orang dalam derajat yang berbeda pada situasi yang berlainan. Stephenson (2001) menggambarkan dua jenis ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan situasional muncul pada sebuah peristiwa spesifik dan mungkin berlangsung singkat.
Ketidakberayaan dasar (trait powerlessness)bersifat lebih menyebar, memengaruhi pandangan, tujuan, gaya hidup, dan hubungan. Secara klinis, diagnosis keperawatan ketidakberdayaan mungkin lebih bermanfaat jika digunakan untuk menggambarkan individu yang mengalami ketidakberdayaan dasar dibandingkan ketidakberdayaan situasional (Hamid, 2008). Keputusasaan berbeda dengan ketidakberdayaan.
Dalam hal ini, individu yang putus asa tidak melihat adanya solusi untuk mengatasi masalahnya atau jalan untuk mencapai keinginannnya, bahkan ia sangat merasa ingin memegang kendali atas hidupnnya. Individu yang tidak berdaya mungkin melihat alternative atau jawaban untuk masalahnya, tetapi tidak mampu berbuat apa pun karena persepsi tentang control dan sumber yang ada. Ketidakberdayaan yang berkepanjangan bisa menyebabkan keputusasaan (Hamid, 2008). 

2. Etiologi 
Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan hospitalisasi Hospitalisasi menimbulkan berbagai respons pada masyarakat dan keluarga, termasuk kecemasan, ketakutan, dan ketidakberdayaan. Jika hospitalisasi diduga berlangsung singkat, diagnosis kecemasan yang berhubungan dengan lingkungan yang asing, kehilangan rutinitas yang biasa, dan gangguan privasi mungkin beguna untuk menggambarkan ketidakberdayann situasional. (Hamid, 2008). 

3. Jenis-jenis ketidakberdayaan 
Menurut Hamid, (2008) Jenis-jenis ketidakberdayaan sebagai berikut:
a. Mayor
b. Minor  

4. Patofisiologis  Menurut Hamid, (2008)
setiap proses penyakit, baik akut maupun kronis, dapat menyebabkan ketidakberdayaan atau berperan menyebabkan ketidakberdayaan. Beberapa sumber umum antara lain:
a. Berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi, sekunder akibat cedera serebrovaskular (CVA), sindrom Guilain-Barre, intubasi
b. Berhubungan dengan ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari, sekunder akibta CVA, trauma servikal, infark miokard, nyeri
c. Berhubungan dengan ketidakmampuan menjalani tanggung jawab peran, sekunder akibat pembedahan, trauma, arthritis
d. Berhubungan dengan proses penyakit yang melemahkan, sekunder akibat sklerosis multiple, kanker terminal
e. Berhubungan dengan penyalahgunaan zat f. Berhubungan dengan distorsi kognitif, sekunder akibat depresi 

5. Proses  keperawatan dengan ketidakberdayaan  Menurut (Hamid, 2008) 
Ketidakberdayaan merupakan persepsi individu bahwa segala tindakannya tidak akan mendapatkan hasil atau suatu keadaan dimana individu kurang dapat mengendalikan kondisi tertentu atau kegiatan yang baru dirasakan.

a. Pengkajian 
Data-data yang biasa ditampilkan pada pasien dengan ketidakberdayaan adalah mengatakan secara verbal ketidakmampuan mengendalikan atau memengaruhi situasi.

b. Diagnosa keperawatan
Karena ketidakberdayaan dapat menyebabkan gangguan harga diri maka diagnose keperawatan dapat dirumuskan: 
1) Gangguan harga diri: harga diri rendah berhubungan dengan ketidakberadayaan.
2) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan hilangnya salah satu anggota badan akibat amputasi.

c. Intervensi
1) Gangguan harga diri: harga diri rendah berhubungan dengan ketidakberadayaan. Tujuan umum: Pasien dapat melakukan cara pengambilan keputusan yang efektif untuk mengendalikan situasi kehidupannya dengan demikian menurunkan perasaan rendah diri. Tujuan khusus: Pasien dapat membina hubungan terapeutik dengan perawat. 

Tindakan:

  • Lakukan pendekatan yang hangat, menerima pasien apa adanya dan bersifat empati. 
  • Mawas diri dan cepat mengendalikan perasaan dan reaksi diri perawat sendiri (misalnya rasa marah, frustasi dan simpati). 
  • Sediakan waktu untuk berdiskusi dan bina hubungan yang sifatnya sportif. 
  • Beri waktu untuk pasien berespons. 
  • Pasien dapat mengenali dan mengekspresikan emosi. 
  • Tunjukkan respon emosional dan menerima pasien. 
  • Gunakan teknik komunikasi terapeutik terbuka, eksplorasi, klarifikasi. 
  • Bantu pasien untuk mengekspresikan perasaannya. 
  • Bantu pasien mengidentifikasi area-area situasi kehidupannya yang tidak berada dalam kemampuannya untuk mengontrol. 
  • Dorong untuk menyatakan secara verbal perasaan-perasaannya yang berhubungan dengan ketidakmampuan
  • Pasien dapat memodifikasi pola kognitif negative. 

2) Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan pasien mampu mengontrol tingkat ansietasnya serta mampu mengkomunikasikan perasaan dengan tepat dengan kriteria hasil:
a) TTV normal
b) Pasien tampak rileks.

Intervensi: 

a) Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.
b) Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.
c) Mengatur waktu khusus dengan klien untuk berdiskusi tentang kecemasan klien.
d) Bina hubungan saling percaya dengan oasien dan keluarga pasien.
e) Kolaborasi: beri obat untuk mengurangi ansietas. 

3) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan hilangnya salah satu anggota badan akibat amputasi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama proses keperawatan pasien dapat menerima keadaan tubuhnya yang sekarang dengan kriteria hasil:
a) Pasien tampak percaya diri.
b) Pasien dapat menerima keadaan tubuhnya.

Intervensi: 
a) Diskusikan persepsi pasien tentang citra tubuhnya yang dulu dan saat ini, perasaan dan harapan yang dulu dan saat ini terhadap citra tubuhnya.
b) Diskusikan potensi bagian tubuh yang lain.
c) Bantu pasien untuk meningkatkan fungsi bagian tubuh yang terganggu.
d) Motivasi pasien untuk melihat bagian yang hilang secara bertahap.
e) Bantu pasien menyentuh bagian tersebut.
f) Motivasi pasien untuk melakukan aktivitas yang mengarah kepada pembentukan tubuh yang ideal. g) Lakukan interaksi secara bertahap.
h) Dorong melakukan aktivitas sehari-hari dan terlibat dalam keluarga dan social.
i) Dorong untuk mengunjungi teman atau orang lain yang berarti atau mempunyai peran penting baginya.
j) Beri pujian terhadap keberhasilan pasien melakukan interaksi. 


Q. Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Distres spiritual 

1.  Pengertian
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Achir &  Hamid, 2008).

2. Penyebab Menurut Budi anna keliat (2011) 
penyebab distres spiritual adalah sebagai berikut:
a. Pengkajian Fisik → Abuse
b. Pengkajian Psikologis → Status mental, mungkin adanya depresi, marah, kecemasan, ketakutan, makna nyeri, kehilangan kontrol, harga diri rendah, dan pemikiran yang bertentangan (Otis-Green, 2002).
c. Pengkajian Sosial Budaya → dukungan sosial dalam memahami keyakinan klien (Spencer, 1998). 

3.  Patofisiologi 
Patofisiologi distress spiritual tidak bisa dilepaskan dari stress dan struktur serta fungsi otak. Stress adalah realitas kehidupan manusia seharihari. Setiap orang tidak dapat dapat menghindari stres, namun setiap orang diharpakan melakukan penyesuaian terhadap perubahan akibat stres. Ketika kita mengalami stres, otak kita akan berespon untuk terjadi.

Konsep ini sesuai dengan yang disampikan oleh Cannon, W.B. dalam Davis M, dan kawan-kawan (1988) yang menguraikan respon “melawan atau melarikan diri” sebagai suatu rangkaian perubahan biokimia didalam otak yang menyiapkan seseorang menghadapi ancaman yaitu stress. Gangguan pada dimensi spritual atau distres spritual dapat dihubungkan dengan timbulnya depresi. Tidak diketahui secara pasti bagaimana mekanisme patofisiologi terjadinya depresi. Namun ada beberapa faktor yang berperan terhadap terjadinya depresi antara lain faktor genetik, lingkungan dan neurobiology (Achir &  Hamid, 2008).  

4. Karakteristik
distres spiritual Karakteristik Distres Spritual  meliputi empat hubungan dasar yaitu :

  • Hubungan dengan diri  
  • Hubungan dengan orang lain  
  • Hubungan dengan seni, musik, literatur, dan alam  
  • Hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari dirinya  

5. Proses keperawatan pada pasien dengan distress spiritual Menurut Achir &  Hamid, (2008) proses keperawatan pada pasien dengan distress spiritual adalah sebagai berikut:

a. Pengkajian 

Pengkajian aktifitas sehari-hari pasian yang mengkarakteristikan distres spiritual, mendengarkan berbagai pernyataan penting seperti :
1) Perasaan ketika seseorang gagal
2) Perasaan tidak stabil
3) Perasaan ketidakmmapuan mengontrol diri
4) Pertanyaan tentang makna hidup dan hal-hal penting dalam kehidupan
5) Perasaan hampa
6) Faktor Predisposisi :

  • Gangguan pada dimensi biologis akan mempengaruhi fungsi kognitif  
  • Faktor prediposisi sosiokultural meliputi usia, gender, pendidikan, pendapattan, okupasi, posisi sosial, latar belakang budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, tingkatan sosial. 
7) Faktor Presipitasi :

  • Kejadian Stresful
  • Ketegangan Hidup Penilaian Terhadap Stressor : 1) Respon Kognitif 2) Respon Afektif 3) Respon Fisiologis 4) Respon Sosial 5) Respon Perilaku 8) Sumber Koping : Menurut Safarino (2002) terdapat lima tipe dasar dukungan sosial bagi distres spiritual : 
  • a) Dukungan emosi yang terdiri atas rasa empati, caring, memfokuskan pada kepentingan orang lain.
  • b) Tipe yang kedua adalah dukungan esteem yang terdiri atas ekspresi positif thingking, mendorong atau setuju dengan pendapat orang lain. 
  • c) Dukungan yang ketiga adalah dukungan instrumental yaitu menyediakan pelayanan langsung yang berkaitan dengan dimensi spiritual. 
  • d) Tipe keempat adalah dukungan informasi yaitu memberikan nasehat, petunjuk dan umpan balik bagaimana seseorang harus berperilaku berdasarkan keyakinan spiritualnya. 
  • e) Tipe terakhir atau kelima adalah dukungan network menyediakan dukungan kelompok untuk berbagai tentang aktifitas spiritual. Taylor, dkk (2003)  
b. Diagnosa : 
Diagnosa keperawatan: Distress Spritual.  Kriteria hasil:
1) Klien dapat melakukan spiritual yang tidak mengganggu kesehatan
2) Klien dapat mengekspresikan pengguguran perassaan bersalah dan ansietas
3) Klien dapat mengekspresikan kepuasan dengan kondisi spiritual.

c. Intervensi :
Sp. 1-P :         
1) Bina hubungan saling percaya dengan pasien
2) kaji faktor penyebab distress spiritual pada pasien
3) bantu pasien mengungkapkan perasaan dan pikiran terhadap agama yang diyakininya
4) bantu klien mengembangkan kemampuan untuk mengatasi perubahan spritual dalam kehidupan.

Sp. 2-P :
1) Fasilitas klien dengan alat-alat ibadah sesuai keyakinan klien,
2) fasilitas klien untuk menjalankan ibadah sendiri atau dengan orang lain 
3) bantu pasien untuk ikut serta dalam kegiatan keagamaan.
4) Tindakan keperawatan

d. Implementasi  
Pada fase implementasi perawat menerapkan intervensi yang telah dissun pada klien

e. Evaluasi  
Evaluasi yang harus dilakukan perawat adalah:
1) Klien dapat melakukan spiritual yang tidak mengganggu kesehatan
2) Klien dapat mengekspresikan pengguguran perassaan bersalah dan ansietas
3) Klien dapat mengekspresikan kepuasan dengan kondisi spiritual. 

R. Analisis Proses Interaksi 

1. Pengertian 
Analisis proses interaksi (API) adalah suatu alat kerja yang dipakai oleh perawat untuk memahami interaksi yang terjadi antara perawat dengan pasien. API ini adalah merupakan alat untuk mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam Laporan Pendahuluan Strategi Pelaksanaan (LPSP).

Pada LPSP, perawat sudah merencanakan berbagai pertanyaan untuk mengkaji atau bahkan melaksanakan intervensi keperawatan. Sementara itu, pelaksanaan kegiatan ini ditulis dalam analisis proses interaksi. (Yusuf. AH, 2015) Ketepatan diagnosis keperawatan yang ditemukan akan dengan mudah dikoreksi dari hasil wawancara dan pengkajian yang dilakukan dalam pelaksanaan fase kerja LPSP. Dari hal ini, akan tergambar data yang ditemukan baik verbal maupun nonverbal dan teknik wawancara yang diterapkan.

Dengan demikian, API dapat mengoreksi ketepatan diagnosis atau intervensi yang diberikan. (Yusuf. AH, 2015) Beberapa komponen yang harus ditulis dalam API adalah komunikasi verbal, komunikasi nonverbal perawat dan pasien, analisis berpusat pada perawat, dan analisis berpusat pada pasien. Setelah itu, 
berikan alasan perawat melakukan tindakan berupa komunikasi verbal dan nonverbal di atas, serta temukan masalah pasien dari apa yang terjadi dengan pasien selama wawancara. Jelaskan alasan rasional teknik terapeutik yang dilakukan oleh perawat.

Dengan demikian, API adalah merupakan alat evaluasi dari kemampuan terapeutik perawat. (Yusuf. AH, 2015) 2. Tujuan
a. Meningkatkan keterampilan komunikasi.
b. Meningkatkan kepekaan perawat terhadap kebutuhan pasien.
c. Mempermudah perkembangan dan perubahan pendekatan perawat.
d. Memberi dasar pembelajaran, yang berarti bahwa API merupakan alat untuk mengkaji kemampuan perawat dalam berinteraksi dengan pasien dan menjadi data bagi pembimbing klinik atau supervisor untuk memberi arahan.
e. Membantu perawat dalam penerapan proses keperawatan. (Yusuf. AH, 2015) 

3. Komponen API 
a. Komunikasi verbal perawat dan pasien. 
b. Komunikasi nonverbal perawat dan pasien. 
c. Analisis berpusat pada perawat, yang merupakan identifikasi perasaan perawat serta kemungkinan komunikasi yang dapat dilakukan perawat.  
d. Analisis berpusat pada pasien, yang merupakan identifikasi persepsi perawat terhadap emosi dan komunikasi pasien. 
e. Rasional dan makna dari komunikasi. 
f. Kesan perawat yang merupakan evaluasi terhadap efektivitas komunikasi yang telah dilakukan. 
g. Rencana tindak lanjut, yang merupakan rencana tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan berikutnya berdasarkan hasil evaluasi dari komunikasi yang telah dilakukan. (Yusuf. AH, 2015). 

4. Contoh Form Analisis Proses Interaksi 

ANALISIS PROSES INTERAKSI 
Inisial Pasien    : ………  Nama Mahasiswa  : …… Status interaksi perawat–pasien  : ………  Tanggal   : …… Lingkungan    : ………  Waktu    : …… Deskripsi Pasien    : ……… Tempat   : …… Tujuan Interaksi    : ……… Komunikasi Verbal Komunikasi  Nonverbal Analisis Berpusat pada Perawat Analisis Berpusat pada Pasien Rasional P  :…… 

K : …… 
P :……… 

K :………… 

K : ……… 

P :……… 
………… 

………… 

………… 

………… 
………… 

………… 

………… 

………… 
………… 

………… 

………… 

………… 

………… dst…… 

KESAN PERAWAT :  ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. ............................................................................................................................. .......................................................... 


5. Petunjuk Pengisian Analisis Proses Interaksi  
a. Inisial pasien Tulis inisial bukan nama lengkap. 
b. Status interaksi Pertemuan keberapa dengan pasien atau pada fase apa saat berhubungan dengan pasien. 
c. Lingkungan Tempat interaksi, situasi tempat interaksi, serta posisi perawat dan pasien. 
d. Deskripsi pasien Penampilan umum pasien.  
e. Tujuan Tujuan yang akan dicapai dalam interaksi saat itu. Tujuan ini berpusat pada pasien dan terkait dengan proses keperawatan pasien.  
f. Komunikasi verbal Ucapan verbal perawat dan pasien (apa yang diucapkan oleh perawat dan apa yang didengar pasien).  
g. Komunikasi nonverbal Sikap, gerakan, arah/pandangan mata, serta ekspresi wajah pasien dan perawat pada saat bicara atau pada saat mendengar  
h. Analisis berpusat pada perawat Analisis bisa terdiri atas komponen sebagai berikut. (Yusuf. AH, 2015). 
1) Perasaan sendiri Waspada terhadap respons perasaan sendiri, apa dan mengapa perasaan itu bisa muncul. Bagaimana perasaan perawat dipengaruhi oleh pasien. 
2) Tingkah laku nonverbal Kenali dan analisis tingkah laku nonverbal diri sendiri. 
3) Isi pembicaraan yang muncul dan terselubung Kenali dengan menggunakan teknik komunikasi. 
4) Tujuan interaksi 
  • Perawat berperan sebagai apa? Pasien sebagai apa? 
  • Apa anggapan perawat terhadap kejadian yang ada? 
  • Bagaimana seharusnya mereka berinteraksi? 
  • Bagaimana pengaruh proses interaksi pada mereka? 
  • Apakah ada yang perlu diubah? Jika perlu mengapa? 
  • Apakah interaksi ini mempengaruhi tujuan dan renacana interaksi yang akan datang? 

5) Mengubah intervensi 
Setelah perawat mendiskusikan komunikasinya, ajukan perubahan intervensi yang mungkin lebih efektif dan gunakan teori yang mendukung. 

I. Analisis berpusat pada pasien Analisis bisa terdiri atas komponen sebagai berikut. (Yusuf. AH, 2015) 
1) Tingkah laku nonverbal: kenali dan analisis tingkah laku nonverbal pasien. 
2) Isi pembicaraan yang muncul dan terselubung. 
3) Perasaan pasien 
a) Temukan dan cari arti tingkah laku pasien.  
b) Identifikasi dan diskusikan keadaan perasaan pasien. 
c) Ketahui perasaan pasien dipengaruhi oleh perawat. 
4) Kebutuhan pasien Cari kebutuhan pasien dengan menggunakan data dari interaksi yang baru terjadi, interaksi sebelumnya, riwayat pasien, dan teori.  

j. Rasional Merupakan sintesis dan terapan teori pada proses interpersonal. 
Berikan alasan teoretis intervensi Anda, tunjukkan peningkatan kemampuan dalam mendiskusikan tingkah laku pasien dengan teori psikodinamika, teori adaptasi, dan teori lainnya. Gunakan teori komunikasi, komunikasi terapeutik, teori interpersonal, dan berbagai teknik komunikasi terapeutik 



DAFTAR PUSTAKA 

Achir, Yani S &  Hamid. (2008). Bunga rampai asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: EGC. Alimul, A. (2006). Keterampilan Dasar Praktik Klinik. Jakarta: Salemba Medika. 
NANDA NIC-NOC. (2006).  Diagnosa Keperawatan  (terjemahan). Jakarta: EGC 
Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC. 
Budi, Anna Keliat. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta : EGC Depkes RI. (1998). Buku Standar Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Penerapan Standar Asuhan Keperawatan pada Kasus di RSJ dan RS Ketergantungan Obat. Jakarta. Depkes RI. (2014). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2013. Jakarta: Depkes RI. Ellis RJ, A Elizabeth. (1994). Nowlis, Nursing : A Human Needs Approach, Fifth Edition, JB Lippincott Company, Philadephia.  
Frisch. (2006). Psychiatry Mental Health Nursing. Kanada: Thompson Delmar Learning.  Hamid, A.Y. (2008). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC. Hawari, D.( 2008). Manajemen Stres Cemas dan Depres., Jakarta : Balai Penerbit 
FKUI. 
Iyus, Yosep. (2009). Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi).jkarta: Salemba Medika 
Iyus, Yosep. 2007. KeperawatanJiwa. RefikaAditama : Bandung Kaplan dan Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Jilid 1. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Keliat, B.A., Akemat, Helena, N.C.D., dan Nurhaeni, H. (2007). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas: CMHN (Basic Courese). Jakarta: EGC. Kozier Erb. (2003). Fundamental Of Nursing : Concept Process and practice, Addison Weslwy Publishing co, USA,  
Mansjoer, A. (1999).  Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 1, Jakarta : Penerbit 
Aesculapius. 
Maramis, W.F. (2010). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Maslim, Rusdi. 2004. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta: FK Jiwa Unika Atmajaya. NANDA.(2011). Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC Notosoedirjo, M. Latipun. (2001). Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan. Malang: UMM Press. Nurjannah, I. (2004). Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa Manajemen, 
Proses Keperawatan dan Hubungan Terapeutik Perawat-Klien. 
Yogyakarta : Penerbit MocoMedia 
Potter & Perry. (2005). Fundamental Keperawatan volume 1. Jakarta: EGC. Smeltzer bare.(2002). Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah Brunner & studdarth edisi 8 . , Jakarta:EGC 
Stuart dan Laraia. (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th edition. St. Louis: Mosby. Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. (2002). Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.  Stuart, Gail W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.  Suliswati, dkk., 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Jakarta : EGC. 
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan, Kematian dan Berduka dan Proses keperawatan. Jakarta: Sagung SetoTownsend, Mary C. 1998. Diagnosa Keperawatan pada Keperawatn Psikiatri, Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Perawatan Edisi 3. Jakarta: EGC. Varcarolis. 2006. Fundamentalis of Psychiatric Nursing Edisi 5. St. Louis: Elsevier. Videbeck, S.J. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC 
Wahyu, Purwaningsih, Ina Karlina. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika Press.. World Health Organization. (2001). Mental Health: New Understanding, New Hope. Geneva:WHO. Yusuf, AH, Dkk, (2015). Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Jakarta: Salemba Medika 

Mohon maaf atas kekurangannya, kerena tools yang disini tidak cukup untuk membuatnya lebih rapi lagi.

0 Response to "Modul Asuhan Keperawatan Jiwa Kemenkes RI, NANDA NIC NOC"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel